Nama sebenarnya
bukan Radon. Tapi ntahlah, saya lebih suka diam-diam menamainya Radon 18. Dia
sendiripun tak pernah tau bahwa saya menjulukinya Radon 18. Iya, Radon 18.
Radon, saya melihat kata itu di jajaran nama-nama atom dalam buku kimia kelas 1
SMP dulu. 18, saya menyukai tanggal 8, dan saat itu saya menjadikan dia satu-satunya
tempat tertinggi di hati saya. Jadilah padu padan antara angka 1 dan 8.
Secara
fisik Radon 18 berkulit hitam, tapi ntahlah bibirnya tipis begitu memikat dan
menggoda. Senyumnya menimbulkan lesung pipit yang cekung di pipinya. Ah,
makhluk terindah yang pernah saya lihat saat masih beranjak remaja beberapa
tahun silam. Suaranya khas. Ah iya, matanya agak sipit, dengan rambut belakang
agak berantakan.
Ntah lah
semalam saya mendadak kembali kepikiran si radon 18. Sebersit bayangannya
terlintas perlahan ketika saya mengendarai motor dengan laju pelan di iringi
efek gerimis kecil. Saat ini saya tak tau dimana Radon berada. Terakhir saya
berhubungan waktu saya akan naik kelas 2 SMA, dan dia berpamitan akan pindah ke
Provinsi seberang. Hmm. Yang sangat kala itu, hati saya menjadi sedikit merasa
nyeri, ntah karna apa. Dan beberapa hari sebelum keberangkatannya, saya menyita
stick drum kesayangnnya. Saya letakkan dalam lemari pakaian. Sambil beralasan “Untuk
kenangan agar saya bisa selalu ingat kamu”, Radon melepaskan stick drumnya
dengan ikhlas.
Dan iya,
stick drum itu masih tersimpan rapi di dalam lemari pakaian saya.
Hei Radon,
apa kabar ? Sudah baikkah hidupmu saat ini? Masih ingat dengan rasa omelet
buatan kita berdua dulu? Masih ingat bagaimana kita sering bertengkar, tak
menyapa beberapa hari, kemudian kembali tertawa ? Kau ingan dengan gelang pemberianmu
untuk kado ulang tahunku yang ke 13 ? Masih tersimpan rapi di loker gelangku.