Sabtu, 10 Desember 2016
Pagi ini saya bangun agak telat dari jam janjian bersama
Mas Fahmi. Saya mandi dengan semangat, membereskan kamar dan memasukkan barang
ke carrier saya. Jadi pagi ini juga saya akan check out. Mas Fahmi datang jam 7
pagi, saya agak mengomel karena menunggu dia lumayan lama. Saya kelaparan, dan
ternyata dia sudah sarapan dirumah temannya itu. Jadilah dia mengantar saya
makan, dia hanya menunggu sambil menghisap rokok dan mengobrol ringan dengan
saya.
Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah “Brown Canyon
Semarang”. Jauh hari sebelum hari ini terjadi, saya sudah mencari-cari gambar
dari tempat ini. Mas Fahmi hanya berkomentar “Kamu yakin mau kesana?”. Saya bilang
“Yakin dong, kenapa sih?”. Dia bilang “Nggak apa-apa, lihat aja sendiri”. Dan taraaaaa.
Sesampainya disana saya misuh-misuh dikit dan meringis. Brown Canyon tidak bisa
di sebut sebagai tempat wisata, hampir mirip dengan penambangan batu yang ada
di sebelah Jalan Kaliurang Jember jaman dulu. Ditambah lagi banyak truck lalu
lalang yang membawa hasil muatan, belum lagi mobil proyek. Saya pun bergumam “Ini
gimana ya”. Mas Fahmi hanya berkomentar “Gapapa, yang penting kan udah pernah
tau daripada nggak tau”.
 |
Brown Canyon Semarang |
 |
Saya dan Ilalang |
Setelah dari Brown Canyon, kami memutuskan pergi ke destinasi
kedua yaitu Klenteng Sam Poo Kong, klenteng tersebut adalah bekas tempat
persinggahan pertama dari seorang Laksamana Tiongkok bernama Zheng He. Awal
masuk, saya mulai agak lelah dengan carrier, Mas Fahmi ber-ide untuk menitipkan
pada satpam namun di tolak. Panas sekali cuaca saat itu, kami leyeh-leyeh
sebentar di bangku bawah pohon sebelum berkeliling Klenteng. Beruntungnya hari
itu ada pertunjukan tarian dari sekelompok mahasiswa dari luar Indonesia.
Mereka sudah berkeliling berbagai Negara untuk menampilkan tarian mereka.
Mulailah saya dan Mas Fahmi terlibat dalam percakapan un-faedah. “Cuk, wedok seng iku sip” adalah salah
satu contoh ke-halu-an Mas Fahmi yang saya timpali dengan “Gak iro arep mbek kon”. Sebenarnya saya juga agak halu melihat
cowok bule ganteng ber-rambut hitam ikal yang kalau senyum itu bikin rontok
bulu mata. Ah oke kembali ke topik. Kami pun berkeliling Klenteng sambil
foto-foto memakai kamera busuk. Iya, saya yang foto. Ntah agaknya Mas Fahmi
lebih suka jadi fotografer di bandingkan objek yang di foto. Klenteng ini
begitu luas, dengan corak merah yang dominan. Begitu mewah, elegan, dan
menyenangkan.
 |
Klenteng Sam Poo Kong |
 |
Pertunjukan Tari di Sam Poo Kong |
Demi menghemat waktu, setelah puas berkeliling klenteng,
kami menonton pertunjukan tari sebentar kemudian bergegas pergi menuju
destinasi berikutnya yaitu Lawang Sewu. Lawang Sewu cukup terkenal dan rasanya
cukup sayang untuk di lewatkan. Lawang Sewu berasal dari bahasa jawa yang
artinya Pintu Seribu. Saya tidak tahu berapa jumlah pintu disana sebenarnya,
hanya saya bergumam kagum bagaimana arsitek nya bisa membuat bangunan semegah
itu. Pintunya benar-benar lurus dalam satu baris dan mencengangkan. Di Lawang
Sewu para pengunjung bisa naik ke lantai teratas yang merupakan atap dari
bangunan ini, dan bisa juga ke bawah tanah. Sayangnya, saat itu bagian bawah
tanah sedang tidak di buka, jadi kami hanya berkeliling sampai lantai teratas,
kemudian duduk santai di halaman taman yang luas.
 |
Saya dan Pintu yang Lurus |
 |
Lawang Sewu |
Sebenarnya siang itu saya sudah lelah karena cuaca saat
itu sedang panas-panasnya. Namun demi mendapatkan banyak hal baru dalam
perjalanan kali ini saya terus semangat dong hihihi. Berikutnya kami menuju
Semarang Contemporary Art Gallery yang terletak di kawasan Kota Lama Semarang.
Semarang Art Gallery adalah sebuah bangunan terdiri dari 2 lantai yang
bernuansa putih. Isinya beragam, ada lukisan, foto-foto dan cerita setiap sudut
Semarang di jaman lawas. Begitu menarik untuk menambah wawasan tentang
Semarang. Sudah cukup lama menghabiskan waktu, kami berjalan di sekitar kawasan
Kota Lama untuk mencari tempat foto yang bagus. Sore itu awan mulai menggantung,
mendung datang. Kami menyudahi hari itu di Semarang, dan kami akan pergi ke
Grobogan.
 |
Salah satu isi Semarang Art Gallery |
 |
Taman Kecil di Semarang Art Gallery |
 |
Semarang Art Gallery |
Sebelum perjalanan ke Grobogan, saya mampir dulu beli
Lumpia Ny. Lien yang terkenal enaknya. Dan sial, baru saja berjalan sebentar
dari Ny. Lien, hujan datang. Kami berteduh di pelataran took alat musik bersama
orang-orang lain. Mas Fahmi sudah membawa jas hujan 2 pasang sebenarnya. Namun,
permasalahannya adalah saya tidak membawa penutup carrier. Saya khawatir
pakaian saya akan basah. Agaknya hujan tak kunjung reda, kami pun nekat untuk
terus berangkat. Jas Hujan personal di pakai Mas Fahmi, dan Jas Kelelawar yang
tidak begitu besar itu akhirnya saya pakai dengan pertimbangan agar carrier
saya tertutup. Sedikit sulit memakainya, namun dengan sigap Mas Fahmi membantu
memakaikan jas hujan. Kami berdua yang saat itu memakai sepatu, akhirnya
sama-sama melepas sepatu dan motorpun melaju dengan kecepatan B aja menuju arah
Grobogan. Masih di daerah Semarang, sudah dekat dengan perbatasan, kami
berhenti untuk makan bakso. Bakso Kuncoro namanya. Kata Mas Fahmi, ini adalah
bakso terenak selama dia menjalani hidup disana. Kami makan bakso dengan
penghayatan penuh, sepertinya kami sama-sama kelaparan. 40ribu untuk 2 porsi
bakso kikil, 2 porsi lontong, 2 gelas es the, dan 1 tahu bakso, cukup murah
menurut saya. Selanjutnya sekitar 1,5 jam kami menghabiskan waktu di jalan
menuju Grobogan.
 |
Bakso Kikil Kuncoro |
Berkali-kali
saya menarik baju Mas Fahmi ketika kaget atau ketika merasa laju motor terlalu
kencang. Jalanannya bukan aspal, banyak sawah di sepanjang jalan, sepi, dan
saya yakin kalau malam sangat gelap, dan saya terharu ketika saya sampai di
kontrakan Mas Fahmi. Disana sudah disambut oleh Mas Elyas, teman kantor Mas
Fahmi yang juga mengontrak bersama dengan Mas Fahmi. Saya agak takjub Mas Fahmi
bisa betah tinggal di tempat seperti ini. Saya kira, Arjasa rumah saya sudah
sangat desa, ternyata masih ada yang lebih desa dari Arjasa. Hahaha. Perumahan
tempat Mas Fahmi tinggal dikelilingi oleh sawah, dimana penerangan masih minim,
dan3 hal yang saya khawatirkan jika tinggal disana adalah hantu, hewan liar,
dan perampok.
 |
Tempat foto-able di Kota Lama |
 |
Kota Lama |
Saya
meletakkan dan menata barang-barang saya di kamar Mas Fahmi. Untuk laki-laki
kamarnya sangat bersih, jika di bandingkan dengan kamar kakak saya dirumah.
Bergegas saya mandi, sholat, dan saya lapar (lagi). Terimakasih Tuhan, sepertinya
Mas Fahmi ini begitu sabar menghadapi perut saya, dia pasrah mengantarkan saya untuk
makan di daerah Pasar desa tersebut, sekitar 1 km dari kontrakan Mas Fahmi. Saya
makan dengan lahap sendirian, karena Mas Fahmi masih kenyang dengan bakso yang
tadi sore. Haduh, padahal bakso bukan nasi. Selepas makan, Mas Fahmi mengantar
saya untuk menginap dirumah teman kerjanya. Seorang perempuan bernama Rahma
Agustin. Rumah Mbak Atin itu berjarak 100 meter saja dari kontrakan Mas Fahmi.
Sesampainya dirumah Mbak Atin, seperti biasa mulut Mas Fahmi yang agak urakan
itu berulah “Tin, titip dulu ya. Kalo rewel suruh tidur luar aja”.
Malam
itu saya tertidur pulas dengan kipas angin yang menyala keras karena udara
sangat panas disana. Saya lupa bermimpi apa, saya hanya berharap kebiasaan saya
tertidur sambil teriak-teriak dan jalan tidak kambuh di rumah orang.