Minggu, 07 Januari 2018

Dari Akar Tembakau ke Ujung Jagung Part II (Traveling Semarang, Jepara, Grobogan)

Sabtu, 10 Desember 2016
            Pagi ini saya bangun agak telat dari jam janjian bersama Mas Fahmi. Saya mandi dengan semangat, membereskan kamar dan memasukkan barang ke carrier saya. Jadi pagi ini juga saya akan check out. Mas Fahmi datang jam 7 pagi, saya agak mengomel karena menunggu dia lumayan lama. Saya kelaparan, dan ternyata dia sudah sarapan dirumah temannya itu. Jadilah dia mengantar saya makan, dia hanya menunggu sambil menghisap rokok dan mengobrol ringan dengan saya.
            Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah “Brown Canyon Semarang”. Jauh hari sebelum hari ini terjadi, saya sudah mencari-cari gambar dari tempat ini. Mas Fahmi hanya berkomentar “Kamu yakin mau kesana?”. Saya bilang “Yakin dong, kenapa sih?”. Dia bilang “Nggak apa-apa, lihat aja sendiri”. Dan taraaaaa. Sesampainya disana saya misuh-misuh dikit dan meringis. Brown Canyon tidak bisa di sebut sebagai tempat wisata, hampir mirip dengan penambangan batu yang ada di sebelah Jalan Kaliurang Jember jaman dulu. Ditambah lagi banyak truck lalu lalang yang membawa hasil muatan, belum lagi mobil proyek. Saya pun bergumam “Ini gimana ya”. Mas Fahmi hanya berkomentar “Gapapa, yang penting kan udah pernah tau daripada nggak tau”.
Brown Canyon Semarang

Saya dan Ilalang

            Setelah dari Brown Canyon, kami memutuskan pergi ke destinasi kedua yaitu Klenteng Sam Poo Kong, klenteng tersebut adalah bekas tempat persinggahan pertama dari seorang Laksamana Tiongkok bernama Zheng He. Awal masuk, saya mulai agak lelah dengan carrier, Mas Fahmi ber-ide untuk menitipkan pada satpam namun di tolak. Panas sekali cuaca saat itu, kami leyeh-leyeh sebentar di bangku bawah pohon sebelum berkeliling Klenteng. Beruntungnya hari itu ada pertunjukan tarian dari sekelompok mahasiswa dari luar Indonesia. Mereka sudah berkeliling berbagai Negara untuk menampilkan tarian mereka. Mulailah saya dan Mas Fahmi terlibat dalam percakapan un-faedah. “Cuk, wedok seng iku sip” adalah salah satu contoh ke-halu-an Mas Fahmi yang saya timpali dengan “Gak iro arep mbek kon”. Sebenarnya saya juga agak halu melihat cowok bule ganteng ber-rambut hitam ikal yang kalau senyum itu bikin rontok bulu mata. Ah oke kembali ke topik. Kami pun berkeliling Klenteng sambil foto-foto memakai kamera busuk. Iya, saya yang foto. Ntah agaknya Mas Fahmi lebih suka jadi fotografer di bandingkan objek yang di foto. Klenteng ini begitu luas, dengan corak merah yang dominan. Begitu mewah, elegan, dan menyenangkan.
Klenteng Sam Poo Kong

Pertunjukan Tari di Sam Poo Kong

            Demi menghemat waktu, setelah puas berkeliling klenteng, kami menonton pertunjukan tari sebentar kemudian bergegas pergi menuju destinasi berikutnya yaitu Lawang Sewu. Lawang Sewu cukup terkenal dan rasanya cukup sayang untuk di lewatkan. Lawang Sewu berasal dari bahasa jawa yang artinya Pintu Seribu. Saya tidak tahu berapa jumlah pintu disana sebenarnya, hanya saya bergumam kagum bagaimana arsitek nya bisa membuat bangunan semegah itu. Pintunya benar-benar lurus dalam satu baris dan mencengangkan. Di Lawang Sewu para pengunjung bisa naik ke lantai teratas yang merupakan atap dari bangunan ini, dan bisa juga ke bawah tanah. Sayangnya, saat itu bagian bawah tanah sedang tidak di buka, jadi kami hanya berkeliling sampai lantai teratas, kemudian duduk santai di halaman taman yang luas.


Saya dan Pintu yang Lurus

Lawang Sewu

            Sebenarnya siang itu saya sudah lelah karena cuaca saat itu sedang panas-panasnya. Namun demi mendapatkan banyak hal baru dalam perjalanan kali ini saya terus semangat dong hihihi. Berikutnya kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery yang terletak di kawasan Kota Lama Semarang. Semarang Art Gallery adalah sebuah bangunan terdiri dari 2 lantai yang bernuansa putih. Isinya beragam, ada lukisan, foto-foto dan cerita setiap sudut Semarang di jaman lawas. Begitu menarik untuk menambah wawasan tentang Semarang. Sudah cukup lama menghabiskan waktu, kami berjalan di sekitar kawasan Kota Lama untuk mencari tempat foto yang bagus. Sore itu awan mulai menggantung, mendung datang. Kami menyudahi hari itu di Semarang, dan kami akan pergi ke Grobogan.
Salah satu isi Semarang Art Gallery

Taman Kecil di Semarang Art Gallery

Semarang Art Gallery

            Sebelum perjalanan ke Grobogan, saya mampir dulu beli Lumpia Ny. Lien yang terkenal enaknya. Dan sial, baru saja berjalan sebentar dari Ny. Lien, hujan datang. Kami berteduh di pelataran took alat musik bersama orang-orang lain. Mas Fahmi sudah membawa jas hujan 2 pasang sebenarnya. Namun, permasalahannya adalah saya tidak membawa penutup carrier. Saya khawatir pakaian saya akan basah. Agaknya hujan tak kunjung reda, kami pun nekat untuk terus berangkat. Jas Hujan personal di pakai Mas Fahmi, dan Jas Kelelawar yang tidak begitu besar itu akhirnya saya pakai dengan pertimbangan agar carrier saya tertutup. Sedikit sulit memakainya, namun dengan sigap Mas Fahmi membantu memakaikan jas hujan. Kami berdua yang saat itu memakai sepatu, akhirnya sama-sama melepas sepatu dan motorpun melaju dengan kecepatan B aja menuju arah Grobogan. Masih di daerah Semarang, sudah dekat dengan perbatasan, kami berhenti untuk makan bakso. Bakso Kuncoro namanya. Kata Mas Fahmi, ini adalah bakso terenak selama dia menjalani hidup disana. Kami makan bakso dengan penghayatan penuh, sepertinya kami sama-sama kelaparan. 40ribu untuk 2 porsi bakso kikil, 2 porsi lontong, 2 gelas es the, dan 1 tahu bakso, cukup murah menurut saya. Selanjutnya sekitar 1,5 jam kami menghabiskan waktu di jalan menuju Grobogan.
Bakso Kikil Kuncoro

Berkali-kali saya menarik baju Mas Fahmi ketika kaget atau ketika merasa laju motor terlalu kencang. Jalanannya bukan aspal, banyak sawah di sepanjang jalan, sepi, dan saya yakin kalau malam sangat gelap, dan saya terharu ketika saya sampai di kontrakan Mas Fahmi. Disana sudah disambut oleh Mas Elyas, teman kantor Mas Fahmi yang juga mengontrak bersama dengan Mas Fahmi. Saya agak takjub Mas Fahmi bisa betah tinggal di tempat seperti ini. Saya kira, Arjasa rumah saya sudah sangat desa, ternyata masih ada yang lebih desa dari Arjasa. Hahaha. Perumahan tempat Mas Fahmi tinggal dikelilingi oleh sawah, dimana penerangan masih minim, dan3 hal yang saya khawatirkan jika tinggal disana adalah hantu, hewan liar, dan perampok.
Tempat foto-able di Kota Lama

Kota Lama

Saya meletakkan dan menata barang-barang saya di kamar Mas Fahmi. Untuk laki-laki kamarnya sangat bersih, jika di bandingkan dengan kamar kakak saya dirumah. Bergegas saya mandi, sholat, dan saya lapar (lagi). Terimakasih Tuhan, sepertinya Mas Fahmi ini begitu sabar menghadapi perut saya, dia pasrah mengantarkan saya untuk makan di daerah Pasar desa tersebut, sekitar 1 km dari kontrakan Mas Fahmi. Saya makan dengan lahap sendirian, karena Mas Fahmi masih kenyang dengan bakso yang tadi sore. Haduh, padahal bakso bukan nasi. Selepas makan, Mas Fahmi mengantar saya untuk menginap dirumah teman kerjanya. Seorang perempuan bernama Rahma Agustin. Rumah Mbak Atin itu berjarak 100 meter saja dari kontrakan Mas Fahmi. Sesampainya dirumah Mbak Atin, seperti biasa mulut Mas Fahmi yang agak urakan itu berulah “Tin, titip dulu ya. Kalo rewel suruh tidur luar aja”.
Malam itu saya tertidur pulas dengan kipas angin yang menyala keras karena udara sangat panas disana. Saya lupa bermimpi apa, saya hanya berharap kebiasaan saya tertidur sambil teriak-teriak dan jalan tidak kambuh di rumah orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar