Minggu, 24 Desember 2017

Dari Akar Tembakau ke Ujung Jagung Part I (Traveling Semarang, Jepara, Grobogan)


            Akhirnyaaaaaa, tulisan ini selesai juga hihi. Jadi kali ini saya mau nyeritain tentang pengalaman saya traveling ke Semarang. Perjalanannya sih udah setahun kemarin pas di bulan Desember 2016, tapi gegara sibuk skripsi dan langsung kuliah profesi jadi nggak sempet yang namanya nulis apapun. Ini aja sempet karena emang lagi mood, pengen, dan senggang hehhe. Daripada basa basi nggak penting, baiklah akan saya mulai untuk berbagi cerita tentang pengalaman saya traveling ke Semarang.

            Jadi perjalanan ini bermula ketika akhir tahun akan datang, saya lagi nggak ada kerjaan karena pas itu kebetulan lagi nungguin kabar buat bisa ambil data skripsi di Rumah Sakit tempat saya penelitian. Kebetulan juga lagi ada tabungan yang kiranya cukup buat jalan-jalan. Nah, saat itu kebetulan saya ini akrab sama sahabat kakak saya. Namanya Mas Fahmi, dan Mas Fahmi ini lagi kerja di Kota Grobogan, Jawa Tengah. Iseng aja saya bilang ke dia kalo saya pengen liburan, dan kira-kira di Grobogan ada sesuatu yang bisa di jadikan tempat liburan nggak. Saran dia, daripada saya jauh-jauh dari ujung Jawa Timur ke Grobogan, mending sekalian saya ke Semarang. Oh ya, Mas Fahmi ini orang yang baik. Sangking baiknya dia sampai menawarkan saya “Kamu pilih, saya belikan tiket kereta dan penginapan, atau saya tanggung akomodasi makan dan jalan-jalan disini”. Itu pilihan yang sangat sulit ya, setelah rembukan sama kakak perempuan saya yang agak licik itu jadilah saya memilih opsi kedua, horeee makan dan jalan-jalan gratis. Hihihi.

            Kamis, 8 Desember 2016

            Sore ini saya lagi ada di kereta Probowangi dari Jember menuju Surabaya dan sendirian. Diiringi hujan sepanjang perjalanan, saya banyak menghabiskan waktu memandangi jendela kereta, memperhatikan remaja di depan saya, dan bapak-bapak di sebelah saya. Tertidur sejak sampai stasiun mana saya lupa, terbangun sudah di Stasiun Sidoarjo, dan dingin. Dingin karena hari itu saya berangkat tergesa-gesa dari rumah, akhirnya pun lupa membawa jaket. Usaha saya saat itu hanyalah merapatkan kemeja kuning saya yang katanya kayak almamater Universitas Indonesia itu.
Susu Jahe dan Ketan Susu
Mas Bayu a.k.a Mas Wakyem


            Sampai juga di Stasiun Gubeng, malam hari. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya melakukan perjalanan sendirian. Tapi, Surabaya malam hari tak bisa di samakan dengan Jember malam hari. Kewaspadaan harus tetap tinggi, apalagi untuk perempuan. Saya duduk di bangku depan stasiun, menunggu teman kakak saya yang lain untuk menjemput. Malam itu saya menghabiskan waktu untuk mengisi perut di Pos Ketan Legenda. Saya memesan ketan susu, memakannya sambil ngobrol ringan dengan Mas Wakyem. Nama aslinya Bayu, panjang ceritanya kenapa akhirnya nama panggilannya menjadi Wakyem. Saya menginap dirumah Mas Bayu malam itu.

Jumat, 9 Desember 2016

Tidur tidak nyenyak, namun bangun tepat waktu. Seperti masa SD, kalau terlalau bersemangat mau pergi ke suatu tempat, malam harinya selalu sulit tidur dan anehnya bisa bangun lebih pagi. Pagi itu, istri Mas Bayu membelikan saya nasi kuning dengan porsi besar, dan habis. Oh ya saya lupa memberitahu, saat itu berat badan saya tembus di angka 70kg. Sekedar informasi, sekarang saya diet dan sudah 59kg hihihi.

            Tiba di Stasiun Pasar Turi, Mas Bayu baik sekali membawakan saya camilan 1 kresek besar yang saya yakin tidak akan saya habiskan, karena pada dasarnya saya lebih suka sejenis kue basah di banding camilan kering. Kereta pagi itu berangkat dari Stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Semarang Poncol jam 6 pagi. Saya habiskan waktu seperti biasa mengamati pasangan muda romantic dengan bayi kecilnya, kemudian tertidur dan bangun ketika akan sampai di tujuan hehe.

            Turun dari kereta siang itu agak berbeda rasanya. Tidak menunggu jemputan. Tidak ada yang menjemput. Tidak tau arah. Cuma punya alamat penginapan, yang saya sendiri tidak tau itu dimana, seberapa jauh, letaknya dimana. Buta arah ditambah merasa agak nggak jelas ya luntang lantung di depan stasiun, akhirnya menerima tawaran tukang ojek yang mencoba menggoda dan merayu haha. Menunjukkan alamat penginapan, katanya “20ribu ya mbak”. Saya bukan termasuk orang yang tega menawar, lagian saya nggak tau juga tempatnya dimana, jadi iya iya aja. Saya agak menyesal memilih Bapak itu sebenarnya, nyetirnya ugal-ugalan dan melawan arah. Di perempatan lampu merah di terobos, berasa naik kuda. Lebih menyesal lagi adalah 20ribu melayang hanya untuk naik ojek sejauh 700 meter. Pantat saya pun belum panas terbakar sadel sepeda, sudah harus turun.
Kamar di Imam Bonjol Hostel
           Saya menginap di Imam Bonjol Hostel. Rp. 116.000/malam sudah ber AC dengan kamar mandi luar yang sangat bersih. Begitu sampai penginapan, saya langsung rebahan di kasur, panas sekali Semarang batin saya. Berusaha tidur, namun lapar hihi. Usai sholat Dhuhur, saya bergegas keluar jalan kaki, mencari sesuatu yang bisa di beli untuk dimakan. Saya hampir sampai di Lawang Sewu sampai akhirnya berhenti dan tertuju pada rombong siomay. Saya hampir menyerah karena ternyata saya baru tau itu adalah kawasan tengah kota yang tidak ada warung nasi pimggir jalan. Siomaynya enak, khas daerah jawa tengah yang makanannya agak manis, kuah kacangnya pun manis. Saya menghabiskan siomay sambil mendengarkan ibu penjual curhat panjang lebar, dengan bahasa jawa yang halus dengan nada bicara cepat, dimana di jawa timur apalagi di ujung kita berbicara dengan bahasa jawa yang agak kasar, saya hanya manggut-manggut walau sebenarnya tidak paham ibu ini berbicara apa. Langit mulai mendung, saya kembali ke penginapan dan mampir dulu beli camilan untuk di bawa ke pnginapan. Saya habiskan sore untuk tidur.

            Bangun tidur itu saya langsung mandi, siap-siap, sholat dulu, dan “glubak glubuk” di kasur menunggu Mas Fahmi datang. Ternyata pulang kerja, dia langsung siap-siap dan segera menuju ke Semarang yang katanya perjalanannya sekitar 1 – 2 jam. Saya yang sudah lapar, tidak sabar menunggu dia yang lamaaaaa sekali sampai akhirnya dia tiba dan berkata sudah di depan penginapan. Penginapan saya ini di lantai 2, dan lantai 1 nya adalah Indomaret. Siang tadi saya sempat bercerita ke Mas Fahmi bahwa ada Om-Om yang menyewa kamar di dekat resepsionis dan Om-Om itu sedikit genit di tambah mukanya agak “mesum”, dan saya agak takut. Jadilah Mas Fahmi ingin melihat situasi penginapan saya. Dia menanyakan kamar saya dimana, dan kamar si Om itu dimana, kamar mandi dimana, lengkap seperti badan inteligen. Setelah di nyatakan aman, barulah kami berangkat makan. Karena saya tamu, saya yang menentukan makan dimana malam ini. Saya kepengen banget makan Mie Goreng malam itu, dan sore tadi sudah cari-cari di google, dan Bakmi Pak Gareng adalah pilihannya yang terenak sesuai rekomendasi google. Setelah saya coba, nilainya 7/10. Sebenernya enak, tapi kalo kata lidah orang Jember itu rasanya “kurang nyucuk”, kurang berasa micin sama garamnya. Maklum ya generasi micin hihihi.
Bakmi Pak Gareng

            Tandas sudah Bakmi Pak Gareng, kami melanjutkan wisata malam ke Kota Lama Semarang. Duduk santai dan ngobrol ringan di depan Gereja Blenduk sambil membahas rencana perjalanan besok. Saya sedikit merepotkan malam itu, minta di foto di Kota Lama Semarang. Ya karena kamera yang saya punya ini sudah lawas, lungsuran dari kakak saya yang dapat juga lungsuran dari sepupu, lensanya agak bermasalah. Jadilah Mas Fahmi ini ngefoto sambil misuh-misuh, “Kamera busuk!”, umpatnya.
Kota Lama Semarang Malam Hari

Saya dan Gereja Blenduk
Malam itu berlalu, saya kembali ke penginapan, di antar Mas Fahmi sampai ke depan kamar, sampai pintu terkunci ceklek, saya teriak “Wes, muliho”. Saya menghabiskan malam dengan was-was karena pohon bamboo di sebelah jendela kamar saya goyang terkena angin dan menimbulkan suara aneh, dan Mas Fahmi sepertinya tertidur nyenyak dirumah temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar