Akhirnyaaaaaa, tulisan ini selesai juga hihi. Jadi kali
ini saya mau nyeritain tentang pengalaman saya traveling ke Semarang. Perjalanannya
sih udah setahun kemarin pas di bulan Desember 2016, tapi gegara sibuk skripsi
dan langsung kuliah profesi jadi nggak sempet yang namanya nulis apapun. Ini aja
sempet karena emang lagi mood, pengen, dan senggang hehhe. Daripada basa basi
nggak penting, baiklah akan saya mulai untuk berbagi cerita tentang pengalaman
saya traveling ke Semarang.
Jadi perjalanan ini bermula ketika akhir tahun akan
datang, saya lagi nggak ada kerjaan karena pas itu kebetulan lagi nungguin
kabar buat bisa ambil data skripsi di Rumah Sakit tempat saya penelitian. Kebetulan
juga lagi ada tabungan yang kiranya cukup buat jalan-jalan. Nah, saat itu
kebetulan saya ini akrab sama sahabat kakak saya. Namanya Mas Fahmi, dan Mas
Fahmi ini lagi kerja di Kota Grobogan, Jawa Tengah. Iseng aja saya bilang ke
dia kalo saya pengen liburan, dan kira-kira di Grobogan ada sesuatu yang bisa
di jadikan tempat liburan nggak. Saran dia, daripada saya jauh-jauh dari ujung
Jawa Timur ke Grobogan, mending sekalian saya ke Semarang. Oh ya, Mas Fahmi ini
orang yang baik. Sangking baiknya dia sampai menawarkan saya “Kamu pilih, saya belikan
tiket kereta dan penginapan, atau saya tanggung akomodasi makan dan jalan-jalan
disini”. Itu pilihan yang sangat sulit ya, setelah rembukan sama kakak
perempuan saya yang agak licik itu jadilah saya memilih opsi kedua, horeee
makan dan jalan-jalan gratis. Hihihi.
Kamis, 8 Desember
2016
Sore ini saya
lagi ada di kereta Probowangi dari Jember menuju Surabaya dan sendirian. Diiringi
hujan sepanjang perjalanan, saya banyak menghabiskan waktu memandangi jendela
kereta, memperhatikan remaja di depan saya, dan bapak-bapak di sebelah saya. Tertidur
sejak sampai stasiun mana saya lupa, terbangun sudah di Stasiun Sidoarjo, dan
dingin. Dingin karena hari itu saya berangkat tergesa-gesa dari rumah, akhirnya
pun lupa membawa jaket. Usaha saya saat itu hanyalah merapatkan kemeja kuning
saya yang katanya kayak almamater Universitas Indonesia itu.
Susu Jahe dan Ketan Susu |
Mas Bayu a.k.a Mas Wakyem |
Sampai juga di Stasiun Gubeng, malam hari. Sebenarnya ini
bukan kali pertama saya melakukan perjalanan sendirian. Tapi, Surabaya malam
hari tak bisa di samakan dengan Jember malam hari. Kewaspadaan harus tetap tinggi,
apalagi untuk perempuan. Saya duduk di bangku depan stasiun, menunggu teman
kakak saya yang lain untuk menjemput. Malam itu saya menghabiskan waktu untuk
mengisi perut di Pos Ketan Legenda. Saya memesan ketan susu, memakannya sambil
ngobrol ringan dengan Mas Wakyem. Nama aslinya Bayu, panjang ceritanya kenapa
akhirnya nama panggilannya menjadi Wakyem. Saya menginap dirumah Mas Bayu malam
itu.
Jumat, 9 Desember 2016
Tidur
tidak nyenyak, namun bangun tepat waktu. Seperti masa SD, kalau terlalau
bersemangat mau pergi ke suatu tempat, malam harinya selalu sulit tidur dan anehnya
bisa bangun lebih pagi. Pagi itu, istri Mas Bayu membelikan saya nasi kuning
dengan porsi besar, dan habis. Oh ya saya lupa memberitahu, saat itu berat badan
saya tembus di angka 70kg. Sekedar informasi, sekarang saya diet dan sudah 59kg
hihihi.
Tiba di Stasiun Pasar Turi, Mas Bayu baik sekali
membawakan saya camilan 1 kresek besar yang saya yakin tidak akan saya habiskan,
karena pada dasarnya saya lebih suka sejenis kue basah di banding camilan
kering. Kereta pagi itu berangkat dari Stasiun Pasar Turi menuju Stasiun
Semarang Poncol jam 6 pagi. Saya habiskan waktu seperti biasa mengamati pasangan
muda romantic dengan bayi kecilnya, kemudian tertidur dan bangun ketika akan
sampai di tujuan hehe.
Turun dari kereta siang itu agak berbeda rasanya. Tidak menunggu
jemputan. Tidak ada yang menjemput. Tidak tau arah. Cuma punya alamat
penginapan, yang saya sendiri tidak tau itu dimana, seberapa jauh, letaknya
dimana. Buta arah ditambah merasa agak nggak jelas ya luntang lantung di depan
stasiun, akhirnya menerima tawaran tukang ojek yang mencoba menggoda dan merayu
haha. Menunjukkan alamat penginapan, katanya “20ribu ya mbak”. Saya bukan
termasuk orang yang tega menawar, lagian saya nggak tau juga tempatnya dimana,
jadi iya iya aja. Saya agak menyesal memilih Bapak itu sebenarnya, nyetirnya
ugal-ugalan dan melawan arah. Di perempatan lampu merah di terobos, berasa naik
kuda. Lebih menyesal lagi adalah 20ribu melayang hanya untuk naik ojek sejauh 700
meter. Pantat saya pun belum panas terbakar sadel sepeda, sudah harus turun.
Kamar di Imam Bonjol Hostel |
Saya menginap di Imam Bonjol Hostel. Rp. 116.000/malam
sudah ber AC dengan kamar mandi luar yang sangat bersih. Begitu sampai
penginapan, saya langsung rebahan di kasur, panas sekali Semarang batin saya.
Berusaha tidur, namun lapar hihi. Usai sholat Dhuhur, saya bergegas keluar
jalan kaki, mencari sesuatu yang bisa di beli untuk dimakan. Saya hampir sampai
di Lawang Sewu sampai akhirnya berhenti dan tertuju pada rombong siomay. Saya hampir
menyerah karena ternyata saya baru tau itu adalah kawasan tengah kota yang
tidak ada warung nasi pimggir jalan. Siomaynya enak, khas daerah jawa tengah
yang makanannya agak manis, kuah kacangnya pun manis. Saya menghabiskan siomay
sambil mendengarkan ibu penjual curhat panjang lebar, dengan bahasa jawa yang
halus dengan nada bicara cepat, dimana di jawa timur apalagi di ujung kita
berbicara dengan bahasa jawa yang agak kasar, saya hanya manggut-manggut walau
sebenarnya tidak paham ibu ini berbicara apa. Langit mulai mendung, saya
kembali ke penginapan dan mampir dulu beli camilan untuk di bawa ke pnginapan. Saya
habiskan sore untuk tidur.
Bangun tidur itu saya langsung mandi, siap-siap, sholat
dulu, dan “glubak glubuk” di kasur menunggu Mas Fahmi datang. Ternyata pulang
kerja, dia langsung siap-siap dan segera menuju ke Semarang yang katanya
perjalanannya sekitar 1 – 2 jam. Saya yang sudah lapar, tidak sabar menunggu
dia yang lamaaaaa sekali sampai akhirnya dia tiba dan berkata sudah di depan
penginapan. Penginapan saya ini di lantai 2, dan lantai 1 nya adalah Indomaret.
Siang tadi saya sempat bercerita ke Mas Fahmi bahwa ada Om-Om yang menyewa
kamar di dekat resepsionis dan Om-Om itu sedikit genit di tambah mukanya agak “mesum”,
dan saya agak takut. Jadilah Mas Fahmi ingin melihat situasi penginapan saya. Dia
menanyakan kamar saya dimana, dan kamar si Om itu dimana, kamar mandi dimana,
lengkap seperti badan inteligen. Setelah di nyatakan aman, barulah kami
berangkat makan. Karena saya tamu, saya yang menentukan makan dimana malam ini.
Saya kepengen banget makan Mie Goreng malam itu, dan sore tadi sudah cari-cari
di google, dan Bakmi Pak Gareng adalah pilihannya yang terenak sesuai rekomendasi
google. Setelah saya coba, nilainya 7/10. Sebenernya enak, tapi kalo kata lidah
orang Jember itu rasanya “kurang nyucuk”, kurang berasa micin sama garamnya. Maklum
ya generasi micin hihihi.
Bakmi Pak Gareng |
Tandas sudah Bakmi Pak Gareng, kami melanjutkan wisata
malam ke Kota Lama Semarang. Duduk santai dan ngobrol ringan di depan Gereja
Blenduk sambil membahas rencana perjalanan besok. Saya sedikit merepotkan malam
itu, minta di foto di Kota Lama Semarang. Ya karena kamera yang saya punya ini
sudah lawas, lungsuran dari kakak saya yang dapat juga lungsuran dari sepupu,
lensanya agak bermasalah. Jadilah Mas Fahmi ini ngefoto sambil misuh-misuh, “Kamera
busuk!”, umpatnya.
Malam itu berlalu, saya kembali ke penginapan, di antar Mas
Fahmi sampai ke depan kamar, sampai pintu terkunci ceklek, saya teriak “Wes,
muliho”. Saya menghabiskan malam dengan was-was karena pohon bamboo di sebelah
jendela kamar saya goyang terkena angin dan menimbulkan suara aneh, dan Mas
Fahmi sepertinya tertidur nyenyak dirumah temannya.
Kota Lama Semarang Malam Hari |
Saya dan Gereja Blenduk |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar