Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan Lupa Sarapan Sebelum Mendaki, Biar Nggak Muntah - SJ88 Jelbuk Jember

awalnya saya tak berani naik ke puncak
-photo by Lily
            Saya mempunyai seorang sahabat bernama Lily. Semasa kuliah S1 di Jember, dia tinggal bersama saya. Dan ketika sudah lulus, dia memutuskan kembali ke kota asalnya yaitu Lumajang. Kini dia telah bekerja di Sidoarjo sebagai konsultan bangunan. Keren kan, baru lulus sudah langsung diterima kerja. Malam itu, dia mengirim pesan, katanya ingin mengantarkan temannya untuk berkunjung ke Jember. Ingin mencoba ke Bukit SJ88. Akhirnya saya menawarkan diri untuk ikut, walau saya tau bahwa kelemahan saya adalah berjalan jauh atau mendaki.
di bantu oleh mas mas penjaga bukit
-photo by Lily
Ina, Lily, dan Saya
Akhirnya pada pagi harinya jadilah kami bertiga, saya, Lily, dan Ina temannya Lily menuju SJ88. Letak SJ88 ada di daerah Jelbuk Jember, dekat rumah saya. Hanya ditempuh 20 menit dari rumah saya untuk sampai ke parkiran menuju SJ88. Setelah dari parkiran, kami harus berjalan menaiki bukit yang terjal menurut ukuran saya sebagai orang yang tak pernah mendaki gunung. Jalan naiknya curam, dan jarak dari tapak demi tapak begitu tinggi. Sehingga untuk menaiki harus mengeluarkan energi ekstra. Dasarnya saya saat itu sedang diet, hanya meminum susu sayuran pagi harinya. Jadilah saya muntah-muntah saat perjalanan naik. Perut terasa perih, dan kepala menjadi pening. Akhirnya kami memutuskan berhenti. Lily dan Ina memesan mie goreng di sebuah warung, dan saya merebahkan diri sambil memulihkan rasa mual.


akhirnya sampai di puncak tertinggi
-photo by mas mas penjaga
difotoin pas lagi foto sama mas mas penjaga
masih sempet candid pas lagi turun pulang
-photo by Lily
Berjalan sekitar 1 jam lebih akhirnya sampailah kami pada puncak bayangan, dan saya hampir menyerah untuk yang kedua kalinya. Namun, bukan sahabat namanya kalau tidak menyemangati, Lily mencoba memberi motivasi agar saya terus berusaha, dan jadilah dengan segala usaha saya sampai di puncak bukit SJ88. Puncak ini tersusun atas batu-batu besar yang kalau kita di atas batu tersebut, maka kita akan dapat melihat kota Jember dari atas. Berkat bantuan penduduk sekitar yang menjaga di atas bukit, saya berhasil menaiki Puncak Batu tertinggi.


            Rasanya terbayar sudah rasa lelah yang saya rasakan saat berusaha mencapai puncak. Pemandangannya begitu indah. Di tambah semilir angin yang rasanya ingin membuat saya tertidur di atas batu. Oh ya, harga tiket untuk naik kesini cukup murah yaitu hanya Rp.1.000 dan di bayar di pertengahan jalan. Kalau berkunjung kesini sebaiknya pagi hari sekali atau menjelang sore, agar bisa melihat sunrise ataupun sunset. Berani coba untuk menaiki bukit terjal? Datang kesini, tapi jangan lupa sarapan dulu ya :D

Selasa, 04 Oktober 2016

Mahasiswi Akhir yang Akhirnya Berlibur (Part Akhir dari Jogja - Di Jajah Belanda sampai ke Papuma)

Hal terpenting dari sebuah perjalanan adalah dapat kembali ke rumah dengan keadaan baik. Kamis 28 Juli 2016, genap sudah 6 hari saya di Jogja dan harus segera kembali ke Jember. Jam masih menunjukkan waktu 08.00 WIB saya sudah ada di stasiun. Setelah check in untuk bisa masuk ke dalam stasiun, saya memilih duduk di kursi tunggu sendirian kemudian membuang waktu dengan bermain handphone. 
Stasiun Lempuyangan
Beberapa saat kemudian kereta datang, berbondong bonding bersama penumpang lain saya segera mencari gerbong, menaikkan carier yang sangat amat berat, kemudian duduk dengan tenang. Sampai kemudian ada seorang bule tengah kebingungan mencari tempat duduk, setelah saya tanyai ternyata dia mendapatkan kursi di depan saya, namun di depan saya di tempati oleh ibu-ibu yang sepertinya tiketnya berpisah kursi dengan anaknya. Setelah saya beri pengertian, akhirnya ibu tersebut berpindah ke tempat aslinya yaitu di sebelah saya.
            Saya rasa bule tersebut merasa tidak nyaman karena kakinya tertekuk. Lantas dia mengajak bicara pada ibu sebelah saya untuk bertukar tempat duduk. Ibu tersebut yang kurang paham bahasa inggris hanya bisa tersenyum, dan saya mengambil alih menjadi penerjemah. Dan kini bule tersebut duduk disebelah saya. Saya diam, dia pun diam. 
dia bingung dengan kakinya yang terlalu panjang
Sekedar basa basi saya menanyakan tentang dirinya. Namanya Evert Jan Hamstra, berasal dari Belanda, penjajah Negara kita dahulu. Saya tak akan membahas sejarah disini. Dia menceritakan perjalanannya selama di Indonesia, dimana dia akan berlibur disini selama 2 bulan. Dia sudah mengunjungi Jakarta, Bogor,  Jepara, Karimunjawa, Semarang, Solo, Jogja, dan tujuan berikutnya adalah Bromo, Ijen, Bali, dan Lombok. Selama di perjalanan kami banyak bertukar cerita, bertukar pengalaman, dan bertukar nomor WhatsApp, hehe. Percaya atau tidak, saya tidak tertidur, dan tidak merasa lapar selama perjalanan, karena ya mungkin ada teman mengobrol.
            
Evert dan Saya
Sebelum Evert turun di stasiun Probolinggo, dia sempat bertanya dimana Kota saya tinggal. Dan berbekal Handbook Indonesia miliknya, saya berhasil menjelaskan dimana kota saya tinggal. Saya pun membekali dia berbagai tips dan nasihat untuk dia menjaga diri selama di Indonesia. Karena ya tau sendiri, rawan sekali bule di tipu di Negara kita ini.

            Surprise !
            Lewat sehari sejak pertemuan saya dengan Evert, Jumat 29 Juli 2016 malam hari dia mengirim pesan melalui WA bertuliskan “Surprise” dengan map lokasi dia berada. Saya terlonjak ketika melihat map yang dia kirim menunjukkan bahwa posisi nya ada di Jember. Saya sedikit terharu, dan lucu dengan keadaan ini.

            Papuma
            Evert menyukai pantai, dan saya mengajaknya untuk menikmati Pantai Papuma. Saya merasa kasihan dengan kakinya yang terlalu panjang, sehingga dia merasa terlalu lelah dengan perjalanan menuju papuma menggunakan sepeda motor. Dia banyak bertanya tentang apa saja yang ditemuinya di jalan, sampai saya kehabisn kata bingung untuk menjelaskan jawabannya. Dia terkagum kagum melihat Papuma yang menurutnya sangat indah.

Nungguin Si Bocah Renang
Dalam hati saya merutuk “Lihat Papuma aja udah gini, apalagi sampai di Bali”. Saya menunggu di tepi pantai ketika dia memutuskan untuk berenang. Ingin sekali rasanya tertawa melihat dia berenang dengan begitu bahagia. Puas berenang, kami berjalan menuju atas bukit. Melihat pemandangan dari atas bukit kembali membuatnya berdecak kagum. Sepertinya dia lelaki yang bertanggung jawab dan menjaga wanita, dengan alasan jalan turun dari bukit adalah jalan terjal, maka dia menggandeng tangan saya. Rasanya seperti Ayah yang menggandeng anak perempuannya. Berikutnya kami hanya menghabiskan waktu duduk di tepi pantai sambil banyak bercerita.
di atas bukit yang tinggi, dan dia juga tinggi

            Good Bye !
            Kami menuju stasiun untuk membeli tiket kereta menuju Banyuwangi, karena tujuan Evert dari Bromo adalah menuju Ijen, bukannya malah mampir di Jember. Selesai membeli tiket, kami kembali bercengkerama di warung kopi dekat stasiun. Dia memesan mie instant goreng yang menurutnya sangat lezat. Di tengah lahapnya dia memakan mie, dia berucap “Aku rasa hari ini berlalu sangat cepat karena sebentar lagi aku harus melanjutkan perjalananku. Tetapi jangan khawatir, aku merasa bahagia bisa bertemu dan berjalan denganmu seharian ini”. Aku hanya mengangguk-angguk sambil tetap focus pada pisang cokelat pesananku. 

Semoga di pertemuan selanjutnya, tinggi kita bisa sama haha
Jam menunjukkan 15.15 WIB. 15 menit lagi kereta yang ditumpangi Evert akan segera berangkat. Saya mengantarkannya sampai di depan tempat Check In. Dia berbalik badan menghadap saya, kemudian melebarkan tangannya, saya memeluknya sebagai tanda perpisahan sesuai dengan adatnya. Dan saya mulai sadar bahwa saya sedang berada di Stasiun Jember di Indonesia, dan saya baru sadar bahwa banyak pasang mata yang memperhatikan. “See you later”, saya berucap sambil melambaikan tangan. Evert memberikan tiket dan KTP nya pada petugas tiket, dan perlahan punggungnya hilang. Saya berbalik, dan sedikit berlinang.

*Tiket masuk ke Papuma untuk WNI adalah Rp.17.500, dan untuk WNA adalah Rp. 35.000. 

Mahasiswi Akhir yang Akhirnya Berlibur (Jogja Part II)

            Pura Pakualaman Jogja
            Saya mengunjungi Pura Pakualaman Jogja pada hari Minggu, dan ternyata kunjungan saya adalah sebuah kesalahan karena Museum yang ada di Pakualaman tutup di setiap hari Minggu. 







Gapura Pura Pakualaman
Akhirnya saya memberanikan untuk meminta ijin untuk sekedar berfoto beberapa tempat disana. Hanya beberapa menit saya disana sampai akhirnya memutuskan pulang dan mampir untuk membeli batagor di daerah Kaliurang.

            Taman Pelangi Monjali
            Saya dan Mbak Yo memutuskan untuk menghabiskan malam di Taman Pelangi. Taman Pelangi terletak di halaman Monjali (Monumen Jogja Kembali). Karena weekend, tiket masuknya di hargai Rp. 20.000. 
Taman Pelangi
Setelah parkir, saya bergegas mengitari lampion-lampion yang sudah terpajang disana. Menurut saya, Taman Pelangi isinya hampir sama dengan Taman Lampion di BNS. 
Ikan Ikan Gendut
Monjali

Aneka kerangka makhluk hidup di bentuk menggunakan kain dan didalamnya berisi lampu. Puas mengitari Taman Pelangi, saya masih mampir membeli makan ikan. Sebelum saya memberi makan ikan di kolam Monjali yang sangat luas itu, saya sempatkan sejenak berfoto di depan Monumen. Kami mengakhiri malam dengan makan mie dok dok di warung burjo daerah Condong Catur.

            Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko
            Pernah mendengar mitos bahwa jika ke Candi Prambanan bersama pasangan, maka akan terkena kutukan yaitu sepulang dari sana akan putus. Saya antara percaya dan tidak, karena saya mengalaminya saat kelas 2 SMA. Study tour bersama teman-teman sekolah, dan sepulang dari sana hubungan saya dengan mantan pacar pun berakhir. Tak hanya saya, sepupu saya yang satu sekolah dengan saya juga mengalami hal yang sama setelah study tour. Entah mitos atau bukan, yang pasti Senin pagi itu saya bersama Mbak Yo sudah siap menuju Candi Prambanan. Kami membeli tiket terusan yang berisi paketan tour menuju Istana Ratu Boko dan Candi Prambanan seharga Rp.50.000.
Gapura Istana Ratu Boko
            Mini bus yang akan membawa kami menuju Istana Ratu Boko sudah tiba, dan kami melakukan perjalanan sekitar 10 menit untuk sampai di pelataran parkiran Istana Ratu Boko. Selanjutnya kami harus berjalan kaki menaiki banyak tangga untuk sampai di komplek Istana. Kami disambut dengan gerbang Istana yang begitu kokoh namun hanya seperti reruntuhan. Kemudian kami melakukan perjalanan mengunjungi tiap-tiap tempat yang dimiliki oleh Ratu Boko pada jamannya. Terik matahari mulai terasa membakar kulit, sepertinya saya sudah kelelahan mengitari Istana ini. Saya jadi berpikir, Ratu Boko pasti orang yang kaya raya, karena rumahnya besar sekali. Tidak bisa membayangkan betapa bagus Istananya saat dulu. Saya juga berpikir bagaimana bersih-bersih rumah jika rumahnya besar sekali.
Tempat Mandi Putri
            Setelah dari komplek Istana Ratu Boko, saya menuju kembali ke komplek Candi Prambanan. Saya memperhatikan bentuk Candi yang sangat bagus ini. Saya tak pernah berpikir absurd sebelum ini, sampai akhirnya detik itu saya mempertanyakan bagaimana bisa batu-batu tersebut melekat satu sama lain, dan bentuknya tak hanya kotak, melainkan ada yang setengah bulat dan bentuknya sama persis satu dengan lainnya. Subhanallah sekali, saya tak mampu berpikir menggunakan logika.
Candi Prambanan dan Segala Mitosnya

Terimakasih Phytagoras
            Untuk menuju pintu keluar dari Candi Prambanan kami harus berjalan memutar jauh sekali. Lalu tercetus obrolan nggak penting antara saya dan Mbak Yo. Daripada memutar jauh, saya memilih melakukan perjalanan miring dari sudut menuju sudut, layaknya teorema Pyitagoras. Jadi saran saya saat anda melakukan perjalanan ke Candi Prambanan, jangan lupakan Phytagoras agar tak kehabisan napas di tengah jalan.

            Kota Gede Jogja
            Kota Gede adalah tempat yang paling saya sukai di bandingkan semua tempat yang saya kunjungi disini. Bangunan disini seperti membawa kita ke masa lampau. Saya banyak menghabiskan waktu untuk berfoto di pinggir-pinggir jalan, dimana walau hanya di depan rumah orang, rumah tersebut memiliki desain yang sempurna bagi saya. Di kota gede saya sempatkan untuk membeli oleh-oleh di cokelat monggo. 
Cokelat Monggo
Favorit saya adalah dark chocolate, rasanya enak karena tidak terlalu manis dan ada pahit-pahitnya. Tak hanya membeli cokelat, saya mampir ke pasar untuk membeli jajanan tradisional. Nama jajanannya adalah Jeddah Tempe, isinya seperti Tetel, dan cara makannya seperti Burger.

Di depan rumah orang - Kota Gede
Di samping dapur rumah orang - Kota Gede
 Kita letakkan tempe bacem di antara 2 tetel, kemudian dimakan bersamaan. Wah rasanya, nyonyoiii enak sekali. Saya juga menyempatkan untuk berfoto didepan Rumah Pesik. Rumah besar yang sangat amat besar sekali dengan desain unik dan mencolok, namun sudah tak berpenghuni.
Rumah Pesik Kota Gede


            
Desa Wisata Kasongan
            Hari keempat saya di Jogja, saya sempatkan mengunjungi Desa Wisata Kasongan. Desa ini letaknya di Bantul Jogjakarta. Kalau anda berminat untuk mencari oleh-oleh yang bagus, unik, dan murah, tempat ini saya rekomendasikan. Di desa ini banyak kerajinan gerabah dengan harga murah. Saya mengingat Mak Ri dirumah, akhirnya saya membelikan 2 Cobek dari gerabah, dan 1 Mangkok dari gerabah. 

Celengan Ayam dan Celengen Kendi
Selain itu saya membelikan celengan kendi untuk teman-teman saya di Jember agar mereka jadi rajin menabung. Harga dari kerajinan ini cukup murah hanya sekitar Rp. 3.000 – Rp.5.000 untuk celengan dan cobek. Sedangkan 1 paket kendi dan cangkir hanya di beri harga Rp. 30.000.

            Panggung Krapyak                                             
            Saya selalu penasaran dengan Panggung Krapyak, sampai akhirnya saya bisa berfoto di depannya. Jika di tarik lurus maka akan terbentuk sebuah garis yang menghubungkan Panggung Krapyak, Keraton, Tugu, sampai ke Gunung Merapi. Filosofinya adalah garis tersebut menggambarkan perjalanan manusia. 

Panggung Krapyak
Panggung Krapyak ke Kraton menggambarkan manusia sejak lahi sampai dewasa. Dari Keraton ke Tugu menggambarkan proses manusia menjalani hidup sampai bertemu dengan penciptanya.

            Bale Raos
            Berakhir sudah perjalanan saya dengan Mbak Yo. Sebagai traveler yang nomaden, saya pun berpindah menjadi buntut keluarga saya. Keluarga saya tiba dari Malang dan Jakarta. Selasa malam kami mencoba untuk makan di Bale Raos. Siapa yang tidak tau Bale Raos, tempat makan di Kraton yang menjual masakan-masakan favorit yang biasa di makan oleh Sultan. Saya memesan satu porsi bebek siram saus jamur. Mungkin karena saya bukan darah biru, saya kurang menyukai rasa yang dihidangkan.
Bale Raos


            Tempo Gelato
            Hari Rabu adalah hari terakhir saya bisa berjalan-jalan sebelum esoknya harus kembali ke Jember. Saya, kakak ipar saya, dan 2 teman kakak ipar saya memutuskan untuk jalan-jalan dan nongkrong tipis-tipis. 
Trio Gendut dan Es Krim Gendut
Kami mengunjungi Tempo Gelato di daerah Prawirotaman, saya memesan Ice Cream dengan rasa Jambu dan Greentea. Namun nasib na’as tak bisa dihindari, saat berjalan keluar menuju parkiran Es Krim saya jatuh separuh ke jalan raya.

            Malioboro
            Ke Jogja kalau tidak mampir ke Malioboro seperti kurang Sah. Sebagai perempuan yang suka lapar mata, saya dan kakak ipar saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbelanja oleh-oleh di sepanjang jalan Malioboro. Walau sebelumnya saya sudah berpesan bahwa biar saya yang menawar, dan kakak ipar saya tidak boleh bersuara karena bisa ketahuan bahwa dia orang luar Jawa. Karena katanya sih kalo pengen dapet harga murah pas berbelanja di Malioboro harus bisa menawar menggunakan bahasa jawa. Cuma saran aja untuk yang nggak bisa menawar mending belanja di dalem toko jadi harga pas. Selalu hati-hati sama tas, dompet dan handphone waktu berbelanja di keramaian ya.


-bersambung

Senin, 03 Oktober 2016

Mahasiswi Akhir yang Akhirnya Berlibur (Jogja Part I)

            Jogja, kota yang menjadi kunjungan favorit sejak dulu. Tak hanya wisatawan dalam negeri, wisatawan asing pun berlomba untuk datang menikmati Jogja. Saya sebagai mahasiswi tingkat akhir yang selalu depresi menghadapi skripsi mendadak langsung Say Yes saat di tawari kakak saya untuk hadir di wisudanya. Acara wisuda digelar hari Rabu tanggal 27 Juli 2016, namun saya sudah berangkat dari kota Suwar Suwir sejak hari Sabtu tanggal 23 Juli 2016. Berbagai tempat wisata sudah masuk dalam list catatan perjalanan, saya ingin berlibur dulu.
saya dengan gaya alay di kereta saat subuh
            Subuh itu, bersamaan dengan para pedagang siap berangkat berjualan, saya sudah berada di stasiun Jember. Dingin sekali pagi itu. Di dalam kereta belum begitu ramai, baru berjalan berapa menit saya sudah mulai di landa kebosanan di dalam kereta. Sekedar bermain smartphone dan mendengarkan lagu. Menyesal rasanya tidak membawa bekal beberapa buku bacaan. Akhirnya sepanjang perjalanan Jember menuju Jogjakarta saya habiskan untuk memperhatikan orang-orang disekeliling saya. Sepasang kakek nenek yang membawa cucunya untuk berlibur ke Solo, seorang ayah yang membawakan sepeda motor untuk anaknya yang kuliah di luar kota, seorang ibu yang akan pergi menengok cucuknya, mas-mas yang mirip artis didepan saya yang sempat video call dengan pacarnya, dan mas-mas ganteng di sebelah pasangan kakek nenek yang berbicara sopan dan nikmat sekali wajahnya di pandang. Perjalanan selalu memberikan banyak pengalaman dan pelajaran.
mas kayak artis
mas mas ganteng di sebelah nenek

            Hati saya berdebar saat tau sudah sampai di Stasiun Lempuyangan. Saya akan di jemput oleh Teman Kakak saya, Mbak Yo namanya. Karena tau akan menggembel beberapa hari,saya harus melakukan banyak persiapan dan perencanaan yang matang untuk bisa bertahan hidup. Minimal mendapatkan tumpangan tidur agar tidak tidur di masjid ataupun pom bensin. Sore itu Jogja di guyur hujan deras. Lama menunggu, saat sedikit reda, saya dan Mbak Yo siap menerobos gerimis.

Angkringan dan Kopi Joss
            Ke Jogja tidak akan sah kalau belum nongkrong di angkringan. Sabtu malam saya mencoba menghafal jalan-jalan penting di Jogja, dan berakhir di salah satu angkringan di sekitar Malioboro. Saya selalu penasaran dengan kopi Joss, beberapa kali pernah ke Jogja namun tak pernah kesampaian meminum kopi Joss. Kopi hitam yang bercampur dengan arang panas terasa nikmat sekali malam itu. Dominan rasa pahit dengan sedikit manis adalah kopi favorit saya. Bagi pecandu kopi, segelas kopi selayaknya kehangatan, yang selalu bisa memberikan rasa tenang.

            Sunday Morning UGM
            Saya berencana menghabiskan hari minggu dengan berjalan jalan ke kampus UGM. Sunday Morning, layaknya Car Free Day setiap minggu di kota Jember. Banyak pedagang mulai menata dan menjajakan barang atau makanan yang di bawa. Saya tertarik melihat slogan “Bakso Pedas Bikin Cerdas”, akhirnya dengan uang Rp.10.000 saya membeli bakso tanpa kuah yang sudah dibumbu dengan pedas, rasanya enaaaaaaak sekali. 
suasana yang sama seperti car free day di Jember
Saya juga membeli telur puter-puter (di Jember namanya begitu), namun rasa dan kualitasnya jauh sekali lebih enak yang di jajakan di alun-alun Jember. Ah yasudah, namanya juga mencoba tak ada salahnya.

            Benteng Vredeburg
            Hari Pertama di Jogja saya memutuskan berjalan-jalan sendirian, karena Mbak Yo sibuk dan tidak bisa menemani. Malam sebelumnya saya memahami peta Jogja yang saya ambil gratisan di Mirota Batik Malioboro. Dalam list perjalanan, saya menulis Benteng Vredeburg, letaknya dekat dengan titik 0 km. Biaya parkirnya Rp.2000 dan biaya masuknya Rp.2000. 
di fotokan pak penjaga parkir
Tutup di hari Senin, untung saja saya kesana hari Minggu. Benteng yang di bangun pada tahun 1765 ini berdiri begitu kokohnya. Di dalam benteng ini terdapat 4 diorama. Sayangnya saya hanya masuk ke dalam 2 dari 4 diorama. Alasannya karena saya sendirian, dan ketika masuk ke dalam salah satu diorama, tidak ada 1 orang pun di dalamnya, dan bulu kuduk saya berdesir, sehingga saya memutuskan balik badan dan menuju diorama lainnya. Mungkin lain kali saya akan kembali kesana lagi.
ibu fatmawati lagi menjahit

            Museum Anak Kolong Tangga
            Museum ini sesuai namanya, ada di bawah kolong tangga lantai 2 di lingkup Taman Budaya Jogjakarta. Letaknya tak jauh dari Benteng Vredeburg.  Pemiliknya adalah seorang WNA dari Belgia bernama Rudi Corens. Tiket masuknya hanya Rp. 5000 untuk orang dewasa, dan jika ingin memotret harus membayar lagi berapa ya saya lupa. 
cuma sempat ambil foto di depan museum aja
Di museum ini pun hanya saya seorang pengunjungnya. Ah sedih rasanya tak bisa menikmati sepenuh hati karena dirundung rasa was-was dan cemas. Museum ini berisikan mainan-mainan jaman dulu dan cerita anak-anak dari berbagai negara. Melihat mainan yang dipajang membuat saya sedikit mengingat masa kecil sebagai anak generasi tahun 90.an. Jajanan masa kecil pun ikut di pajang. Serta beberapa boneka yang menurut saya agak seram penampakannya.
            Setelah puas melihat isi dari museum ini, saya sudah di sambut dengan Pasar Kangen di halaman Taman Budaya. Seperti layaknya pasar, banyak stand-stand berdiri yang menjual berbagai makanan dan minuman tradisional. 
pasar kangen, kangen kamu, kamu kangen aku nggak (?)
Kebetulan sekali saya mengunjungi Jogja saat Pasar Kangen di gelar. Hanya saja, saya tak sempat membeli apapun, karena di buru oleh waktu untuk menuju list perjalanan yang sudah saya rencanakan berikutnya.


            -bersambung.