Minggu, 07 Januari 2018

Dari Akar Tembakau ke Ujung Jagung Part II (Traveling Semarang, Jepara, Grobogan)

Sabtu, 10 Desember 2016
            Pagi ini saya bangun agak telat dari jam janjian bersama Mas Fahmi. Saya mandi dengan semangat, membereskan kamar dan memasukkan barang ke carrier saya. Jadi pagi ini juga saya akan check out. Mas Fahmi datang jam 7 pagi, saya agak mengomel karena menunggu dia lumayan lama. Saya kelaparan, dan ternyata dia sudah sarapan dirumah temannya itu. Jadilah dia mengantar saya makan, dia hanya menunggu sambil menghisap rokok dan mengobrol ringan dengan saya.
            Destinasi pertama yang kami kunjungi adalah “Brown Canyon Semarang”. Jauh hari sebelum hari ini terjadi, saya sudah mencari-cari gambar dari tempat ini. Mas Fahmi hanya berkomentar “Kamu yakin mau kesana?”. Saya bilang “Yakin dong, kenapa sih?”. Dia bilang “Nggak apa-apa, lihat aja sendiri”. Dan taraaaaa. Sesampainya disana saya misuh-misuh dikit dan meringis. Brown Canyon tidak bisa di sebut sebagai tempat wisata, hampir mirip dengan penambangan batu yang ada di sebelah Jalan Kaliurang Jember jaman dulu. Ditambah lagi banyak truck lalu lalang yang membawa hasil muatan, belum lagi mobil proyek. Saya pun bergumam “Ini gimana ya”. Mas Fahmi hanya berkomentar “Gapapa, yang penting kan udah pernah tau daripada nggak tau”.
Brown Canyon Semarang

Saya dan Ilalang

            Setelah dari Brown Canyon, kami memutuskan pergi ke destinasi kedua yaitu Klenteng Sam Poo Kong, klenteng tersebut adalah bekas tempat persinggahan pertama dari seorang Laksamana Tiongkok bernama Zheng He. Awal masuk, saya mulai agak lelah dengan carrier, Mas Fahmi ber-ide untuk menitipkan pada satpam namun di tolak. Panas sekali cuaca saat itu, kami leyeh-leyeh sebentar di bangku bawah pohon sebelum berkeliling Klenteng. Beruntungnya hari itu ada pertunjukan tarian dari sekelompok mahasiswa dari luar Indonesia. Mereka sudah berkeliling berbagai Negara untuk menampilkan tarian mereka. Mulailah saya dan Mas Fahmi terlibat dalam percakapan un-faedah. “Cuk, wedok seng iku sip” adalah salah satu contoh ke-halu-an Mas Fahmi yang saya timpali dengan “Gak iro arep mbek kon”. Sebenarnya saya juga agak halu melihat cowok bule ganteng ber-rambut hitam ikal yang kalau senyum itu bikin rontok bulu mata. Ah oke kembali ke topik. Kami pun berkeliling Klenteng sambil foto-foto memakai kamera busuk. Iya, saya yang foto. Ntah agaknya Mas Fahmi lebih suka jadi fotografer di bandingkan objek yang di foto. Klenteng ini begitu luas, dengan corak merah yang dominan. Begitu mewah, elegan, dan menyenangkan.
Klenteng Sam Poo Kong

Pertunjukan Tari di Sam Poo Kong

            Demi menghemat waktu, setelah puas berkeliling klenteng, kami menonton pertunjukan tari sebentar kemudian bergegas pergi menuju destinasi berikutnya yaitu Lawang Sewu. Lawang Sewu cukup terkenal dan rasanya cukup sayang untuk di lewatkan. Lawang Sewu berasal dari bahasa jawa yang artinya Pintu Seribu. Saya tidak tahu berapa jumlah pintu disana sebenarnya, hanya saya bergumam kagum bagaimana arsitek nya bisa membuat bangunan semegah itu. Pintunya benar-benar lurus dalam satu baris dan mencengangkan. Di Lawang Sewu para pengunjung bisa naik ke lantai teratas yang merupakan atap dari bangunan ini, dan bisa juga ke bawah tanah. Sayangnya, saat itu bagian bawah tanah sedang tidak di buka, jadi kami hanya berkeliling sampai lantai teratas, kemudian duduk santai di halaman taman yang luas.


Saya dan Pintu yang Lurus

Lawang Sewu

            Sebenarnya siang itu saya sudah lelah karena cuaca saat itu sedang panas-panasnya. Namun demi mendapatkan banyak hal baru dalam perjalanan kali ini saya terus semangat dong hihihi. Berikutnya kami menuju Semarang Contemporary Art Gallery yang terletak di kawasan Kota Lama Semarang. Semarang Art Gallery adalah sebuah bangunan terdiri dari 2 lantai yang bernuansa putih. Isinya beragam, ada lukisan, foto-foto dan cerita setiap sudut Semarang di jaman lawas. Begitu menarik untuk menambah wawasan tentang Semarang. Sudah cukup lama menghabiskan waktu, kami berjalan di sekitar kawasan Kota Lama untuk mencari tempat foto yang bagus. Sore itu awan mulai menggantung, mendung datang. Kami menyudahi hari itu di Semarang, dan kami akan pergi ke Grobogan.
Salah satu isi Semarang Art Gallery

Taman Kecil di Semarang Art Gallery

Semarang Art Gallery

            Sebelum perjalanan ke Grobogan, saya mampir dulu beli Lumpia Ny. Lien yang terkenal enaknya. Dan sial, baru saja berjalan sebentar dari Ny. Lien, hujan datang. Kami berteduh di pelataran took alat musik bersama orang-orang lain. Mas Fahmi sudah membawa jas hujan 2 pasang sebenarnya. Namun, permasalahannya adalah saya tidak membawa penutup carrier. Saya khawatir pakaian saya akan basah. Agaknya hujan tak kunjung reda, kami pun nekat untuk terus berangkat. Jas Hujan personal di pakai Mas Fahmi, dan Jas Kelelawar yang tidak begitu besar itu akhirnya saya pakai dengan pertimbangan agar carrier saya tertutup. Sedikit sulit memakainya, namun dengan sigap Mas Fahmi membantu memakaikan jas hujan. Kami berdua yang saat itu memakai sepatu, akhirnya sama-sama melepas sepatu dan motorpun melaju dengan kecepatan B aja menuju arah Grobogan. Masih di daerah Semarang, sudah dekat dengan perbatasan, kami berhenti untuk makan bakso. Bakso Kuncoro namanya. Kata Mas Fahmi, ini adalah bakso terenak selama dia menjalani hidup disana. Kami makan bakso dengan penghayatan penuh, sepertinya kami sama-sama kelaparan. 40ribu untuk 2 porsi bakso kikil, 2 porsi lontong, 2 gelas es the, dan 1 tahu bakso, cukup murah menurut saya. Selanjutnya sekitar 1,5 jam kami menghabiskan waktu di jalan menuju Grobogan.
Bakso Kikil Kuncoro

Berkali-kali saya menarik baju Mas Fahmi ketika kaget atau ketika merasa laju motor terlalu kencang. Jalanannya bukan aspal, banyak sawah di sepanjang jalan, sepi, dan saya yakin kalau malam sangat gelap, dan saya terharu ketika saya sampai di kontrakan Mas Fahmi. Disana sudah disambut oleh Mas Elyas, teman kantor Mas Fahmi yang juga mengontrak bersama dengan Mas Fahmi. Saya agak takjub Mas Fahmi bisa betah tinggal di tempat seperti ini. Saya kira, Arjasa rumah saya sudah sangat desa, ternyata masih ada yang lebih desa dari Arjasa. Hahaha. Perumahan tempat Mas Fahmi tinggal dikelilingi oleh sawah, dimana penerangan masih minim, dan3 hal yang saya khawatirkan jika tinggal disana adalah hantu, hewan liar, dan perampok.
Tempat foto-able di Kota Lama

Kota Lama

Saya meletakkan dan menata barang-barang saya di kamar Mas Fahmi. Untuk laki-laki kamarnya sangat bersih, jika di bandingkan dengan kamar kakak saya dirumah. Bergegas saya mandi, sholat, dan saya lapar (lagi). Terimakasih Tuhan, sepertinya Mas Fahmi ini begitu sabar menghadapi perut saya, dia pasrah mengantarkan saya untuk makan di daerah Pasar desa tersebut, sekitar 1 km dari kontrakan Mas Fahmi. Saya makan dengan lahap sendirian, karena Mas Fahmi masih kenyang dengan bakso yang tadi sore. Haduh, padahal bakso bukan nasi. Selepas makan, Mas Fahmi mengantar saya untuk menginap dirumah teman kerjanya. Seorang perempuan bernama Rahma Agustin. Rumah Mbak Atin itu berjarak 100 meter saja dari kontrakan Mas Fahmi. Sesampainya dirumah Mbak Atin, seperti biasa mulut Mas Fahmi yang agak urakan itu berulah “Tin, titip dulu ya. Kalo rewel suruh tidur luar aja”.
Malam itu saya tertidur pulas dengan kipas angin yang menyala keras karena udara sangat panas disana. Saya lupa bermimpi apa, saya hanya berharap kebiasaan saya tertidur sambil teriak-teriak dan jalan tidak kambuh di rumah orang.

Minggu, 24 Desember 2017

Dari Akar Tembakau ke Ujung Jagung Part I (Traveling Semarang, Jepara, Grobogan)


            Akhirnyaaaaaa, tulisan ini selesai juga hihi. Jadi kali ini saya mau nyeritain tentang pengalaman saya traveling ke Semarang. Perjalanannya sih udah setahun kemarin pas di bulan Desember 2016, tapi gegara sibuk skripsi dan langsung kuliah profesi jadi nggak sempet yang namanya nulis apapun. Ini aja sempet karena emang lagi mood, pengen, dan senggang hehhe. Daripada basa basi nggak penting, baiklah akan saya mulai untuk berbagi cerita tentang pengalaman saya traveling ke Semarang.

            Jadi perjalanan ini bermula ketika akhir tahun akan datang, saya lagi nggak ada kerjaan karena pas itu kebetulan lagi nungguin kabar buat bisa ambil data skripsi di Rumah Sakit tempat saya penelitian. Kebetulan juga lagi ada tabungan yang kiranya cukup buat jalan-jalan. Nah, saat itu kebetulan saya ini akrab sama sahabat kakak saya. Namanya Mas Fahmi, dan Mas Fahmi ini lagi kerja di Kota Grobogan, Jawa Tengah. Iseng aja saya bilang ke dia kalo saya pengen liburan, dan kira-kira di Grobogan ada sesuatu yang bisa di jadikan tempat liburan nggak. Saran dia, daripada saya jauh-jauh dari ujung Jawa Timur ke Grobogan, mending sekalian saya ke Semarang. Oh ya, Mas Fahmi ini orang yang baik. Sangking baiknya dia sampai menawarkan saya “Kamu pilih, saya belikan tiket kereta dan penginapan, atau saya tanggung akomodasi makan dan jalan-jalan disini”. Itu pilihan yang sangat sulit ya, setelah rembukan sama kakak perempuan saya yang agak licik itu jadilah saya memilih opsi kedua, horeee makan dan jalan-jalan gratis. Hihihi.

            Kamis, 8 Desember 2016

            Sore ini saya lagi ada di kereta Probowangi dari Jember menuju Surabaya dan sendirian. Diiringi hujan sepanjang perjalanan, saya banyak menghabiskan waktu memandangi jendela kereta, memperhatikan remaja di depan saya, dan bapak-bapak di sebelah saya. Tertidur sejak sampai stasiun mana saya lupa, terbangun sudah di Stasiun Sidoarjo, dan dingin. Dingin karena hari itu saya berangkat tergesa-gesa dari rumah, akhirnya pun lupa membawa jaket. Usaha saya saat itu hanyalah merapatkan kemeja kuning saya yang katanya kayak almamater Universitas Indonesia itu.
Susu Jahe dan Ketan Susu
Mas Bayu a.k.a Mas Wakyem


            Sampai juga di Stasiun Gubeng, malam hari. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya melakukan perjalanan sendirian. Tapi, Surabaya malam hari tak bisa di samakan dengan Jember malam hari. Kewaspadaan harus tetap tinggi, apalagi untuk perempuan. Saya duduk di bangku depan stasiun, menunggu teman kakak saya yang lain untuk menjemput. Malam itu saya menghabiskan waktu untuk mengisi perut di Pos Ketan Legenda. Saya memesan ketan susu, memakannya sambil ngobrol ringan dengan Mas Wakyem. Nama aslinya Bayu, panjang ceritanya kenapa akhirnya nama panggilannya menjadi Wakyem. Saya menginap dirumah Mas Bayu malam itu.

Jumat, 9 Desember 2016

Tidur tidak nyenyak, namun bangun tepat waktu. Seperti masa SD, kalau terlalau bersemangat mau pergi ke suatu tempat, malam harinya selalu sulit tidur dan anehnya bisa bangun lebih pagi. Pagi itu, istri Mas Bayu membelikan saya nasi kuning dengan porsi besar, dan habis. Oh ya saya lupa memberitahu, saat itu berat badan saya tembus di angka 70kg. Sekedar informasi, sekarang saya diet dan sudah 59kg hihihi.

            Tiba di Stasiun Pasar Turi, Mas Bayu baik sekali membawakan saya camilan 1 kresek besar yang saya yakin tidak akan saya habiskan, karena pada dasarnya saya lebih suka sejenis kue basah di banding camilan kering. Kereta pagi itu berangkat dari Stasiun Pasar Turi menuju Stasiun Semarang Poncol jam 6 pagi. Saya habiskan waktu seperti biasa mengamati pasangan muda romantic dengan bayi kecilnya, kemudian tertidur dan bangun ketika akan sampai di tujuan hehe.

            Turun dari kereta siang itu agak berbeda rasanya. Tidak menunggu jemputan. Tidak ada yang menjemput. Tidak tau arah. Cuma punya alamat penginapan, yang saya sendiri tidak tau itu dimana, seberapa jauh, letaknya dimana. Buta arah ditambah merasa agak nggak jelas ya luntang lantung di depan stasiun, akhirnya menerima tawaran tukang ojek yang mencoba menggoda dan merayu haha. Menunjukkan alamat penginapan, katanya “20ribu ya mbak”. Saya bukan termasuk orang yang tega menawar, lagian saya nggak tau juga tempatnya dimana, jadi iya iya aja. Saya agak menyesal memilih Bapak itu sebenarnya, nyetirnya ugal-ugalan dan melawan arah. Di perempatan lampu merah di terobos, berasa naik kuda. Lebih menyesal lagi adalah 20ribu melayang hanya untuk naik ojek sejauh 700 meter. Pantat saya pun belum panas terbakar sadel sepeda, sudah harus turun.
Kamar di Imam Bonjol Hostel
           Saya menginap di Imam Bonjol Hostel. Rp. 116.000/malam sudah ber AC dengan kamar mandi luar yang sangat bersih. Begitu sampai penginapan, saya langsung rebahan di kasur, panas sekali Semarang batin saya. Berusaha tidur, namun lapar hihi. Usai sholat Dhuhur, saya bergegas keluar jalan kaki, mencari sesuatu yang bisa di beli untuk dimakan. Saya hampir sampai di Lawang Sewu sampai akhirnya berhenti dan tertuju pada rombong siomay. Saya hampir menyerah karena ternyata saya baru tau itu adalah kawasan tengah kota yang tidak ada warung nasi pimggir jalan. Siomaynya enak, khas daerah jawa tengah yang makanannya agak manis, kuah kacangnya pun manis. Saya menghabiskan siomay sambil mendengarkan ibu penjual curhat panjang lebar, dengan bahasa jawa yang halus dengan nada bicara cepat, dimana di jawa timur apalagi di ujung kita berbicara dengan bahasa jawa yang agak kasar, saya hanya manggut-manggut walau sebenarnya tidak paham ibu ini berbicara apa. Langit mulai mendung, saya kembali ke penginapan dan mampir dulu beli camilan untuk di bawa ke pnginapan. Saya habiskan sore untuk tidur.

            Bangun tidur itu saya langsung mandi, siap-siap, sholat dulu, dan “glubak glubuk” di kasur menunggu Mas Fahmi datang. Ternyata pulang kerja, dia langsung siap-siap dan segera menuju ke Semarang yang katanya perjalanannya sekitar 1 – 2 jam. Saya yang sudah lapar, tidak sabar menunggu dia yang lamaaaaa sekali sampai akhirnya dia tiba dan berkata sudah di depan penginapan. Penginapan saya ini di lantai 2, dan lantai 1 nya adalah Indomaret. Siang tadi saya sempat bercerita ke Mas Fahmi bahwa ada Om-Om yang menyewa kamar di dekat resepsionis dan Om-Om itu sedikit genit di tambah mukanya agak “mesum”, dan saya agak takut. Jadilah Mas Fahmi ingin melihat situasi penginapan saya. Dia menanyakan kamar saya dimana, dan kamar si Om itu dimana, kamar mandi dimana, lengkap seperti badan inteligen. Setelah di nyatakan aman, barulah kami berangkat makan. Karena saya tamu, saya yang menentukan makan dimana malam ini. Saya kepengen banget makan Mie Goreng malam itu, dan sore tadi sudah cari-cari di google, dan Bakmi Pak Gareng adalah pilihannya yang terenak sesuai rekomendasi google. Setelah saya coba, nilainya 7/10. Sebenernya enak, tapi kalo kata lidah orang Jember itu rasanya “kurang nyucuk”, kurang berasa micin sama garamnya. Maklum ya generasi micin hihihi.
Bakmi Pak Gareng

            Tandas sudah Bakmi Pak Gareng, kami melanjutkan wisata malam ke Kota Lama Semarang. Duduk santai dan ngobrol ringan di depan Gereja Blenduk sambil membahas rencana perjalanan besok. Saya sedikit merepotkan malam itu, minta di foto di Kota Lama Semarang. Ya karena kamera yang saya punya ini sudah lawas, lungsuran dari kakak saya yang dapat juga lungsuran dari sepupu, lensanya agak bermasalah. Jadilah Mas Fahmi ini ngefoto sambil misuh-misuh, “Kamera busuk!”, umpatnya.
Kota Lama Semarang Malam Hari

Saya dan Gereja Blenduk
Malam itu berlalu, saya kembali ke penginapan, di antar Mas Fahmi sampai ke depan kamar, sampai pintu terkunci ceklek, saya teriak “Wes, muliho”. Saya menghabiskan malam dengan was-was karena pohon bamboo di sebelah jendela kamar saya goyang terkena angin dan menimbulkan suara aneh, dan Mas Fahmi sepertinya tertidur nyenyak dirumah temannya.

Selasa, 17 Oktober 2017

Jam Rawan Kenangan

Kau tau apa yang bahaya dari jam-jam lewat tengah malam? Iya, tak ada yang lebih bahaya daripada munculnya kenangan di jam-jam rawan seperti ini. Kenangan. Iya kenangan apapun dengan siapapun. Sejatinya kau hanyalah seorang perempuan yang telah berkelana dari hati ke hati, namun akan ada prioritas, atau bahasa kasarnya akan hanya ada orang yang akan selalu menjadi bayangan di setiap malam ketika kau tak sengaja sendirian dalam keadaan pikiranmu sedang melayang. Tiga diantara sekian belas yang pernah ada, dua dari tiga yang tak terselesaikan dengan tuntas, satu dari dua yang tak pernah kau mulai, dan satu di antara tiga yang hingga kini masih kau harapkan untuk menjadi tempatmu kembali pulang.
Kenangan itu jahat. Jahat untuk orang-orang yang lemah. Jahat untuk orang yang masih berharap banyak pada kenangan yang nyatanya abstrak. Jahat untuk orang yang matanya buta, karena hatinya tak bisa membedakan apakah nyata atau hanya sesaat karena rindu yang menahun. Kenangan tak bisa disalahkan. Dia datang seketika. Mungkin ketika kau sedang berbahagia, lalu ketika kenangan datang mendadak kau jadi sedih. Atau mungkin dia datang ketika kau sedang sedih, dan seketika kemudian dia membuat kau tersenyum.

Terkadang kenangan tersimpan dalam banyak hal-hal yang sepele. Dari foto-foto yang kau tempel di lemari bajumu mungkin. Atau ukiran namanya dikertas bindermu tahun 2012 lalu yang akhirnya kau tempel didinding, padahal sekarang sudah 2017. Atau 2 tangkai bunga yang pernah dia berikan ketika menyatakan cinta di bawah hujan, yang akhirnya kau tempel di buku diarymu dan kini sudah mengering. Atau bahkan kenangan muncul dari susu ultra milk coklat yang sudah kadaluarsa karena tak pernah kau buka bertahun-tahun, dan kau beri pita, kau letakkan di rak kaca yang bisa kau perhatikan sebelum tidur.
Tak ada yang salah dari kegiatan mengenang seseorang di malam hari. Yang salah adalah ketika kau sedang mengenang, dan muncul perasaan yang hmm, perasaan yang tidak terdefinisikan. Perasaan yang membuat tangan mu tetiba membuka facebook, mencari namanya dalam kolom pencarian, dan melihat riwayat pertemanan. Atau ketika kau tidak bisa mengkontrol tanganmu yang dengan sengaja membuka twitter, hanya untuk melihat twit lamamu dengan dia dahulu. Ah, yasudahlah. Setiap manusia memiliki kenangan, berhak mengenang dengan cara apapun, dan berhak untuk tidak melupakan sesuatu yang di anggap menyenangkan.
Selamat malam, selamat mengenang seseorang :)

Rabu, 05 Oktober 2016

Jangan Lupa Sarapan Sebelum Mendaki, Biar Nggak Muntah - SJ88 Jelbuk Jember

awalnya saya tak berani naik ke puncak
-photo by Lily
            Saya mempunyai seorang sahabat bernama Lily. Semasa kuliah S1 di Jember, dia tinggal bersama saya. Dan ketika sudah lulus, dia memutuskan kembali ke kota asalnya yaitu Lumajang. Kini dia telah bekerja di Sidoarjo sebagai konsultan bangunan. Keren kan, baru lulus sudah langsung diterima kerja. Malam itu, dia mengirim pesan, katanya ingin mengantarkan temannya untuk berkunjung ke Jember. Ingin mencoba ke Bukit SJ88. Akhirnya saya menawarkan diri untuk ikut, walau saya tau bahwa kelemahan saya adalah berjalan jauh atau mendaki.
di bantu oleh mas mas penjaga bukit
-photo by Lily
Ina, Lily, dan Saya
Akhirnya pada pagi harinya jadilah kami bertiga, saya, Lily, dan Ina temannya Lily menuju SJ88. Letak SJ88 ada di daerah Jelbuk Jember, dekat rumah saya. Hanya ditempuh 20 menit dari rumah saya untuk sampai ke parkiran menuju SJ88. Setelah dari parkiran, kami harus berjalan menaiki bukit yang terjal menurut ukuran saya sebagai orang yang tak pernah mendaki gunung. Jalan naiknya curam, dan jarak dari tapak demi tapak begitu tinggi. Sehingga untuk menaiki harus mengeluarkan energi ekstra. Dasarnya saya saat itu sedang diet, hanya meminum susu sayuran pagi harinya. Jadilah saya muntah-muntah saat perjalanan naik. Perut terasa perih, dan kepala menjadi pening. Akhirnya kami memutuskan berhenti. Lily dan Ina memesan mie goreng di sebuah warung, dan saya merebahkan diri sambil memulihkan rasa mual.


akhirnya sampai di puncak tertinggi
-photo by mas mas penjaga
difotoin pas lagi foto sama mas mas penjaga
masih sempet candid pas lagi turun pulang
-photo by Lily
Berjalan sekitar 1 jam lebih akhirnya sampailah kami pada puncak bayangan, dan saya hampir menyerah untuk yang kedua kalinya. Namun, bukan sahabat namanya kalau tidak menyemangati, Lily mencoba memberi motivasi agar saya terus berusaha, dan jadilah dengan segala usaha saya sampai di puncak bukit SJ88. Puncak ini tersusun atas batu-batu besar yang kalau kita di atas batu tersebut, maka kita akan dapat melihat kota Jember dari atas. Berkat bantuan penduduk sekitar yang menjaga di atas bukit, saya berhasil menaiki Puncak Batu tertinggi.


            Rasanya terbayar sudah rasa lelah yang saya rasakan saat berusaha mencapai puncak. Pemandangannya begitu indah. Di tambah semilir angin yang rasanya ingin membuat saya tertidur di atas batu. Oh ya, harga tiket untuk naik kesini cukup murah yaitu hanya Rp.1.000 dan di bayar di pertengahan jalan. Kalau berkunjung kesini sebaiknya pagi hari sekali atau menjelang sore, agar bisa melihat sunrise ataupun sunset. Berani coba untuk menaiki bukit terjal? Datang kesini, tapi jangan lupa sarapan dulu ya :D

Selasa, 04 Oktober 2016

Mahasiswi Akhir yang Akhirnya Berlibur (Part Akhir dari Jogja - Di Jajah Belanda sampai ke Papuma)

Hal terpenting dari sebuah perjalanan adalah dapat kembali ke rumah dengan keadaan baik. Kamis 28 Juli 2016, genap sudah 6 hari saya di Jogja dan harus segera kembali ke Jember. Jam masih menunjukkan waktu 08.00 WIB saya sudah ada di stasiun. Setelah check in untuk bisa masuk ke dalam stasiun, saya memilih duduk di kursi tunggu sendirian kemudian membuang waktu dengan bermain handphone. 
Stasiun Lempuyangan
Beberapa saat kemudian kereta datang, berbondong bonding bersama penumpang lain saya segera mencari gerbong, menaikkan carier yang sangat amat berat, kemudian duduk dengan tenang. Sampai kemudian ada seorang bule tengah kebingungan mencari tempat duduk, setelah saya tanyai ternyata dia mendapatkan kursi di depan saya, namun di depan saya di tempati oleh ibu-ibu yang sepertinya tiketnya berpisah kursi dengan anaknya. Setelah saya beri pengertian, akhirnya ibu tersebut berpindah ke tempat aslinya yaitu di sebelah saya.
            Saya rasa bule tersebut merasa tidak nyaman karena kakinya tertekuk. Lantas dia mengajak bicara pada ibu sebelah saya untuk bertukar tempat duduk. Ibu tersebut yang kurang paham bahasa inggris hanya bisa tersenyum, dan saya mengambil alih menjadi penerjemah. Dan kini bule tersebut duduk disebelah saya. Saya diam, dia pun diam. 
dia bingung dengan kakinya yang terlalu panjang
Sekedar basa basi saya menanyakan tentang dirinya. Namanya Evert Jan Hamstra, berasal dari Belanda, penjajah Negara kita dahulu. Saya tak akan membahas sejarah disini. Dia menceritakan perjalanannya selama di Indonesia, dimana dia akan berlibur disini selama 2 bulan. Dia sudah mengunjungi Jakarta, Bogor,  Jepara, Karimunjawa, Semarang, Solo, Jogja, dan tujuan berikutnya adalah Bromo, Ijen, Bali, dan Lombok. Selama di perjalanan kami banyak bertukar cerita, bertukar pengalaman, dan bertukar nomor WhatsApp, hehe. Percaya atau tidak, saya tidak tertidur, dan tidak merasa lapar selama perjalanan, karena ya mungkin ada teman mengobrol.
            
Evert dan Saya
Sebelum Evert turun di stasiun Probolinggo, dia sempat bertanya dimana Kota saya tinggal. Dan berbekal Handbook Indonesia miliknya, saya berhasil menjelaskan dimana kota saya tinggal. Saya pun membekali dia berbagai tips dan nasihat untuk dia menjaga diri selama di Indonesia. Karena ya tau sendiri, rawan sekali bule di tipu di Negara kita ini.

            Surprise !
            Lewat sehari sejak pertemuan saya dengan Evert, Jumat 29 Juli 2016 malam hari dia mengirim pesan melalui WA bertuliskan “Surprise” dengan map lokasi dia berada. Saya terlonjak ketika melihat map yang dia kirim menunjukkan bahwa posisi nya ada di Jember. Saya sedikit terharu, dan lucu dengan keadaan ini.

            Papuma
            Evert menyukai pantai, dan saya mengajaknya untuk menikmati Pantai Papuma. Saya merasa kasihan dengan kakinya yang terlalu panjang, sehingga dia merasa terlalu lelah dengan perjalanan menuju papuma menggunakan sepeda motor. Dia banyak bertanya tentang apa saja yang ditemuinya di jalan, sampai saya kehabisn kata bingung untuk menjelaskan jawabannya. Dia terkagum kagum melihat Papuma yang menurutnya sangat indah.

Nungguin Si Bocah Renang
Dalam hati saya merutuk “Lihat Papuma aja udah gini, apalagi sampai di Bali”. Saya menunggu di tepi pantai ketika dia memutuskan untuk berenang. Ingin sekali rasanya tertawa melihat dia berenang dengan begitu bahagia. Puas berenang, kami berjalan menuju atas bukit. Melihat pemandangan dari atas bukit kembali membuatnya berdecak kagum. Sepertinya dia lelaki yang bertanggung jawab dan menjaga wanita, dengan alasan jalan turun dari bukit adalah jalan terjal, maka dia menggandeng tangan saya. Rasanya seperti Ayah yang menggandeng anak perempuannya. Berikutnya kami hanya menghabiskan waktu duduk di tepi pantai sambil banyak bercerita.
di atas bukit yang tinggi, dan dia juga tinggi

            Good Bye !
            Kami menuju stasiun untuk membeli tiket kereta menuju Banyuwangi, karena tujuan Evert dari Bromo adalah menuju Ijen, bukannya malah mampir di Jember. Selesai membeli tiket, kami kembali bercengkerama di warung kopi dekat stasiun. Dia memesan mie instant goreng yang menurutnya sangat lezat. Di tengah lahapnya dia memakan mie, dia berucap “Aku rasa hari ini berlalu sangat cepat karena sebentar lagi aku harus melanjutkan perjalananku. Tetapi jangan khawatir, aku merasa bahagia bisa bertemu dan berjalan denganmu seharian ini”. Aku hanya mengangguk-angguk sambil tetap focus pada pisang cokelat pesananku. 

Semoga di pertemuan selanjutnya, tinggi kita bisa sama haha
Jam menunjukkan 15.15 WIB. 15 menit lagi kereta yang ditumpangi Evert akan segera berangkat. Saya mengantarkannya sampai di depan tempat Check In. Dia berbalik badan menghadap saya, kemudian melebarkan tangannya, saya memeluknya sebagai tanda perpisahan sesuai dengan adatnya. Dan saya mulai sadar bahwa saya sedang berada di Stasiun Jember di Indonesia, dan saya baru sadar bahwa banyak pasang mata yang memperhatikan. “See you later”, saya berucap sambil melambaikan tangan. Evert memberikan tiket dan KTP nya pada petugas tiket, dan perlahan punggungnya hilang. Saya berbalik, dan sedikit berlinang.

*Tiket masuk ke Papuma untuk WNI adalah Rp.17.500, dan untuk WNA adalah Rp. 35.000. 

Mahasiswi Akhir yang Akhirnya Berlibur (Jogja Part II)

            Pura Pakualaman Jogja
            Saya mengunjungi Pura Pakualaman Jogja pada hari Minggu, dan ternyata kunjungan saya adalah sebuah kesalahan karena Museum yang ada di Pakualaman tutup di setiap hari Minggu. 







Gapura Pura Pakualaman
Akhirnya saya memberanikan untuk meminta ijin untuk sekedar berfoto beberapa tempat disana. Hanya beberapa menit saya disana sampai akhirnya memutuskan pulang dan mampir untuk membeli batagor di daerah Kaliurang.

            Taman Pelangi Monjali
            Saya dan Mbak Yo memutuskan untuk menghabiskan malam di Taman Pelangi. Taman Pelangi terletak di halaman Monjali (Monumen Jogja Kembali). Karena weekend, tiket masuknya di hargai Rp. 20.000. 
Taman Pelangi
Setelah parkir, saya bergegas mengitari lampion-lampion yang sudah terpajang disana. Menurut saya, Taman Pelangi isinya hampir sama dengan Taman Lampion di BNS. 
Ikan Ikan Gendut
Monjali

Aneka kerangka makhluk hidup di bentuk menggunakan kain dan didalamnya berisi lampu. Puas mengitari Taman Pelangi, saya masih mampir membeli makan ikan. Sebelum saya memberi makan ikan di kolam Monjali yang sangat luas itu, saya sempatkan sejenak berfoto di depan Monumen. Kami mengakhiri malam dengan makan mie dok dok di warung burjo daerah Condong Catur.

            Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko
            Pernah mendengar mitos bahwa jika ke Candi Prambanan bersama pasangan, maka akan terkena kutukan yaitu sepulang dari sana akan putus. Saya antara percaya dan tidak, karena saya mengalaminya saat kelas 2 SMA. Study tour bersama teman-teman sekolah, dan sepulang dari sana hubungan saya dengan mantan pacar pun berakhir. Tak hanya saya, sepupu saya yang satu sekolah dengan saya juga mengalami hal yang sama setelah study tour. Entah mitos atau bukan, yang pasti Senin pagi itu saya bersama Mbak Yo sudah siap menuju Candi Prambanan. Kami membeli tiket terusan yang berisi paketan tour menuju Istana Ratu Boko dan Candi Prambanan seharga Rp.50.000.
Gapura Istana Ratu Boko
            Mini bus yang akan membawa kami menuju Istana Ratu Boko sudah tiba, dan kami melakukan perjalanan sekitar 10 menit untuk sampai di pelataran parkiran Istana Ratu Boko. Selanjutnya kami harus berjalan kaki menaiki banyak tangga untuk sampai di komplek Istana. Kami disambut dengan gerbang Istana yang begitu kokoh namun hanya seperti reruntuhan. Kemudian kami melakukan perjalanan mengunjungi tiap-tiap tempat yang dimiliki oleh Ratu Boko pada jamannya. Terik matahari mulai terasa membakar kulit, sepertinya saya sudah kelelahan mengitari Istana ini. Saya jadi berpikir, Ratu Boko pasti orang yang kaya raya, karena rumahnya besar sekali. Tidak bisa membayangkan betapa bagus Istananya saat dulu. Saya juga berpikir bagaimana bersih-bersih rumah jika rumahnya besar sekali.
Tempat Mandi Putri
            Setelah dari komplek Istana Ratu Boko, saya menuju kembali ke komplek Candi Prambanan. Saya memperhatikan bentuk Candi yang sangat bagus ini. Saya tak pernah berpikir absurd sebelum ini, sampai akhirnya detik itu saya mempertanyakan bagaimana bisa batu-batu tersebut melekat satu sama lain, dan bentuknya tak hanya kotak, melainkan ada yang setengah bulat dan bentuknya sama persis satu dengan lainnya. Subhanallah sekali, saya tak mampu berpikir menggunakan logika.
Candi Prambanan dan Segala Mitosnya

Terimakasih Phytagoras
            Untuk menuju pintu keluar dari Candi Prambanan kami harus berjalan memutar jauh sekali. Lalu tercetus obrolan nggak penting antara saya dan Mbak Yo. Daripada memutar jauh, saya memilih melakukan perjalanan miring dari sudut menuju sudut, layaknya teorema Pyitagoras. Jadi saran saya saat anda melakukan perjalanan ke Candi Prambanan, jangan lupakan Phytagoras agar tak kehabisan napas di tengah jalan.

            Kota Gede Jogja
            Kota Gede adalah tempat yang paling saya sukai di bandingkan semua tempat yang saya kunjungi disini. Bangunan disini seperti membawa kita ke masa lampau. Saya banyak menghabiskan waktu untuk berfoto di pinggir-pinggir jalan, dimana walau hanya di depan rumah orang, rumah tersebut memiliki desain yang sempurna bagi saya. Di kota gede saya sempatkan untuk membeli oleh-oleh di cokelat monggo. 
Cokelat Monggo
Favorit saya adalah dark chocolate, rasanya enak karena tidak terlalu manis dan ada pahit-pahitnya. Tak hanya membeli cokelat, saya mampir ke pasar untuk membeli jajanan tradisional. Nama jajanannya adalah Jeddah Tempe, isinya seperti Tetel, dan cara makannya seperti Burger.

Di depan rumah orang - Kota Gede
Di samping dapur rumah orang - Kota Gede
 Kita letakkan tempe bacem di antara 2 tetel, kemudian dimakan bersamaan. Wah rasanya, nyonyoiii enak sekali. Saya juga menyempatkan untuk berfoto didepan Rumah Pesik. Rumah besar yang sangat amat besar sekali dengan desain unik dan mencolok, namun sudah tak berpenghuni.
Rumah Pesik Kota Gede


            
Desa Wisata Kasongan
            Hari keempat saya di Jogja, saya sempatkan mengunjungi Desa Wisata Kasongan. Desa ini letaknya di Bantul Jogjakarta. Kalau anda berminat untuk mencari oleh-oleh yang bagus, unik, dan murah, tempat ini saya rekomendasikan. Di desa ini banyak kerajinan gerabah dengan harga murah. Saya mengingat Mak Ri dirumah, akhirnya saya membelikan 2 Cobek dari gerabah, dan 1 Mangkok dari gerabah. 

Celengan Ayam dan Celengen Kendi
Selain itu saya membelikan celengan kendi untuk teman-teman saya di Jember agar mereka jadi rajin menabung. Harga dari kerajinan ini cukup murah hanya sekitar Rp. 3.000 – Rp.5.000 untuk celengan dan cobek. Sedangkan 1 paket kendi dan cangkir hanya di beri harga Rp. 30.000.

            Panggung Krapyak                                             
            Saya selalu penasaran dengan Panggung Krapyak, sampai akhirnya saya bisa berfoto di depannya. Jika di tarik lurus maka akan terbentuk sebuah garis yang menghubungkan Panggung Krapyak, Keraton, Tugu, sampai ke Gunung Merapi. Filosofinya adalah garis tersebut menggambarkan perjalanan manusia. 

Panggung Krapyak
Panggung Krapyak ke Kraton menggambarkan manusia sejak lahi sampai dewasa. Dari Keraton ke Tugu menggambarkan proses manusia menjalani hidup sampai bertemu dengan penciptanya.

            Bale Raos
            Berakhir sudah perjalanan saya dengan Mbak Yo. Sebagai traveler yang nomaden, saya pun berpindah menjadi buntut keluarga saya. Keluarga saya tiba dari Malang dan Jakarta. Selasa malam kami mencoba untuk makan di Bale Raos. Siapa yang tidak tau Bale Raos, tempat makan di Kraton yang menjual masakan-masakan favorit yang biasa di makan oleh Sultan. Saya memesan satu porsi bebek siram saus jamur. Mungkin karena saya bukan darah biru, saya kurang menyukai rasa yang dihidangkan.
Bale Raos


            Tempo Gelato
            Hari Rabu adalah hari terakhir saya bisa berjalan-jalan sebelum esoknya harus kembali ke Jember. Saya, kakak ipar saya, dan 2 teman kakak ipar saya memutuskan untuk jalan-jalan dan nongkrong tipis-tipis. 
Trio Gendut dan Es Krim Gendut
Kami mengunjungi Tempo Gelato di daerah Prawirotaman, saya memesan Ice Cream dengan rasa Jambu dan Greentea. Namun nasib na’as tak bisa dihindari, saat berjalan keluar menuju parkiran Es Krim saya jatuh separuh ke jalan raya.

            Malioboro
            Ke Jogja kalau tidak mampir ke Malioboro seperti kurang Sah. Sebagai perempuan yang suka lapar mata, saya dan kakak ipar saya menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbelanja oleh-oleh di sepanjang jalan Malioboro. Walau sebelumnya saya sudah berpesan bahwa biar saya yang menawar, dan kakak ipar saya tidak boleh bersuara karena bisa ketahuan bahwa dia orang luar Jawa. Karena katanya sih kalo pengen dapet harga murah pas berbelanja di Malioboro harus bisa menawar menggunakan bahasa jawa. Cuma saran aja untuk yang nggak bisa menawar mending belanja di dalem toko jadi harga pas. Selalu hati-hati sama tas, dompet dan handphone waktu berbelanja di keramaian ya.


-bersambung